Dialog Kereta



Minggu pagi. Semarang. Cuaca yang indah dan bergelora. Setasiun kereta sudah dipadati orang-orang dengan tujuan berbagai kota. Aku sedang menunggu didalam  gerbong empat, menunggu pukul 09.15. Waktu dimana kereta menggerakkan rodanya menuju Kota Bahari.
Ponselku bersuara.

Gue mau curhat, nyong. Sumpah, gue ngerasa bersalah banget. Hati berasa cekit-cekit kalo inget. Apa gue harus enyah ya dari muka bumi?”

Tiba-tiba sebuah pesan dari seorang teman menyela keasyikan menikmati lamunan. Membuatku penasaran apa gerangan yang mengusik hatinya dipagi yang cerah berawan ini. Fokusku berganti haluan. Hiruk pikuk digerbong kereta ini tidak mampu mengganggu rasa penasaranku atas kecemasan yang dihadapi olehnya. Ah, prolog pagi hari yang menyebalkan.

“Kenapa lagi sih? Galau lo? Lo dimana?”

Sempat terlintas dibenakku, ini pasti masalah pacar. Wajarlah, pasalnya dia kan sedang  menjalani yang namanya long distance relationship. Dan aku sudah paham betul bahwa hubungan LDR selalu membawa sekelumit masalah. Tak terkecuali dia. Aku menebak begitu.

“Gue ngerasa jadi orang yang gak berguna. Gak bisa diandalkan. Gue di Blora.”

“Emangnya selama ini lo berguna? Hahahahahahaa... Serius ah, kenapa sih? Masalah sama siapa lo? Oh, di Blora.

Aku merasa yakin kalau ini masalah ini pasti ada hubungannya sama pacarnya, Husna, yang sekarang berada di Birmingham.

“Ah, kampret! Ini masalah sama kakak ipar gue nyong. Jadi gini ceritanya..”

Oh.. ternyata tebakanku salah besar.

“Gimana ceritanya? Panjang? Kalo panjang gue tidur dulu, siapin tenaga buat dengerin cerita lo..”

Aku geli sendiri menulis gurauan ini. Tidak mungkin aku tidur dalam perjalanan pulang kali ini. Disamping karena seat kereta ini kurang nyaman untuk tidur, selain itu juga karena jarak waktu yang ditempuh cukup dekat. Aku khawatir nanti kebablasan.

“Sialan! Gaklah.. Emangnya gue mau cerita masalah negara. Jadi gini nyong, rencananya kan hari ini gue balik ke Semarang. Nah semalem tuh gue kan minjem motor kakak  ipar gue buat keluar. Rencananya mau sekalian beli tiket kereta sama sekalian ngambil duit di ATM. Pas gue pake motor itu, gue liat meteran bensinnya udah nunjukkin ke garis merah. Yah, sedikit lagi abislah. Jadi, gue niat mau ngisi bensin juga. Eh, tapi entah kenapa itu semua gak gue lakuin. Gue gak beli tiket, gak ke ATM, dan gak ngisi bensin.Dan yang paling bikin gue ngerasa gak berguna lagi itu pas besok paginya..”

Suara peluit panjang memotong konsentrasiku. Obrolanku dengan Guntur terhenti sejenak. Pandanganku beralih keluar jendela. Memandangi deretan kursi-kursi tunggu penumpang yang lambat laun hilang dari pandangan. Kereta sudah melaju. Meyenangkan sekali jika keberangkatan kereta sesuai dengan jadwal yang tertera. Setidaknya, intitusi ini sudah mulai memahami pentingnya menghormati sebuah jadwal. Syukurlah. Ketika sedang masih asyik merenung, ponselku berbunyi lagi. Ah! Guntur! Aku kelupaan..

“Tadi pagi, kan kakak ipar gue mau make motornya, ternyata bensinya abis. Akhirnya terpaksa deh dia ngeluarin mobilnya. Dan lo tau apa? Mobilnya, entah kenapa, mogok! Parahnya lagi, tiba-tiba ponakan gue masuk kamar gue, bilang gini.. ‘motore ayahku bensinnya mbok entekke tho?’”..

Runyam! Sepertinya aku paham perasaannya. Pasalnya, sejauh yang aku ketahui, hubungan dia dan kakaknya kurang harmonis. Bisa jadi hal ini yang membuat dia merasa segan berhadapan dengan kakak iparnya yang notabene adalah suami dari kakaknya. Tampaknya dia sedang menciptakan kuburannya sendiri. Tapi, bisa jadi pemikiranku berlebihan.

“Trus, lo diem aja? Gak bantuin kakak ipar lo? Atau apalah..”

Guntur membalas secepat kilat.

“Nah, itu dia yang bikin gue ngerasa selain bersalah, juga bego. Gue mendingan dimarahin sama Pak Amir deh, dibego-begoin sama Pak Amir ketimbang ditegor sama ponakan sendiri! Maluuu... Dan lo tau apa? Gue cuma bisa ngintip dari kamar gue, ngintip kakak ipar gue otak-atik mobilnya. Mengkeret gue. Mau nolongin malu, tapi kalo gak bantuin rasanya makin parah. Padahal ya, biasanya itu mobil gak mogok!”

Dari jendela pintu penghubung gerbong kulihat dua orang petugas tiket sudah mulai melakukan kegiatan mereka memeriksa tiket para penumpang. Satu orang berpakaian layaknya seorang kapten, berseragam hitam, memakai topi seperti polisi, entah apa namanya. Sangat berwibawa dan berkarakter. Membawa pembolong kertas yang digunakannya untuk membolongi tiket, tanda bahwa tiket sah dan tidak bisa dipakai lagi. Sedangkan yang satu lagi, dugaanku, adalah bawahannya. Dilihat dari seragam yang dipakainya, hanya kemeja putih layaknya petugas setasiun dan celana bahan berwarna gelap. Entah itu warna hitam atau biru dongker.  Saat mereka menghampiri tempatku, kupandang wajah sang kapten yang sangat berkarisma. Yah, pantaslah dia menjadi kapten. 

“Aaaah! Memalukan! Apa-apaan kelakuan lo... Lo gak malu sama ponakan?? Udah disindir begitu... Kayaknya, kalo menurut gue, lo belom paham sama arti komitmen deh.”

Beberapa saat, obrolan kami tersendat karena masalah sinyal yang up and down. Aku mendengus karenanya. Bukan hal yang menyenangkan jika berseteru dengan sinyal. Apa boleh buat, marah pun hanya bikin boros tenaga.

“Itu dia.. Kayaknya gue gak bisa menghargai hidup gue sendiri deh. Gue bahkan gak bisa berkomitmen sama diri sendiri. Masih kepikiran omongan ponakan gue..”
“Yah, gimana lagi. Saran gue, mending lo berguru sama Tuhan deh kalo masalah berkomitmen. Mumpung gratis! Tapi setidaknya, lo sadar kalo tindakan lo selain ngrugiin diri sendiri juga ngerugiin orang lain...”

Komitmen. Aku tahu apa tentang komitmen? Hehehehe... Padahal aku juga kurang yakin apakah pemahamanku tentang pentingnya arti komitmen dalam hidup sudah benar. Perlu pembenahan komprehensif tentang hal itu. Bisa jadi aku salah kaprah dalam menjalankan konsep komitmen dalam hidup. Atau bisa jadi, aku malah mengeluarkan doktrin yang salah tentang konsep tersebut. Waduh!

“Tau gak lo, padahal gue udah ngerencanain pulang ke Semarang dari hari kamis. Biar kamis malemnya gue bisa ngaji sama guru ngaji gue. Gue pengen silahturahmi sama keluarga dan kerabat disana.. Gue pengen nyoba untuk bisa tepat waktu dan disiplin sama jadwal kereta juga hidup gue.. Gue pengen nyenengin ponakan-ponakan gue, beliin mereka susu sapi kesukaan mereka.. Terus nemenin lo.. Tapi apa? Semua gagal total! Sekarang gue jadi takut berkomitmen.. Astagfirullah...”

Lho? Kenapa jadi takut berkomitmen? Dasar, Guntur. Dia malah memilih untuk jadi lelaki kebanyakan. Takut komitmen. Aneh. Padahal komitmen bukan monster, pembunuh, psikopat gila, bukan juga sejenis mahluk halus menakutkan macam kuntilanak atau genderuwo. Dimana letak logikanya antara komitmen dengan rasa takut? Bukankah sedari kecil, secara tidak sadar, kita sudah mengenal komitmen? Misalnya, sekolah. Orang tua sudah susah payah menyekolahkan kita, kemudian secara tidak sadar kita ingin supaya orang tua kita bangga dengan diri kita melalu prestasi. Bukankah itu bagian dari komitmen? Atau memang bukan? Ah, mungkin aku salah. Toh, aku juga belum paham betul tentang komitmen.

“Berarti lo gak menghargai hidup nyong. Eh, berati gak menghargai gue juga dong selama ini?? Ah, cukup tau!”

Penumpang didepanku mengejutkanku (juga penumpang lain) dengan suara dengkurnya yang merana. Seolah napasnya tersangkut di tenggorokan, sehingga menghasilkan suara yang menggelikan dan mengganggu. Aku terbengong sebentar menatapnya. Lelaki tua berumur  sekitar lima puluhan, berbadan tambun, terlelap dengan tangan bersedekap didepan dada. Kaos merah polo terlihat sangat ketat dibadannya, dipadu dengan celana jins berwarna hitam dan sepatu keds putih berlogo NB. Sepertinya orang ini berusaha untuk tampil tidak sesuai umurnya. Dan, sepertinya dengkur ini akan menemani perjalananku hingga usai.

“Ini semua tuh gara-gara diri lo sendiri!”

“Iya nyong, gue tau... Tiga hari ini gue gak menghargai lo, bukan selama ini.. Tiga hari doang..”

Ada nada sedih dalam kalimatnya. Aku membayangkan wajah Guntur yang murung dan gelisah. Pasti wajahnya tambah jelek. Jarang sekali dia terlihat tampan. Yah, apa boleh buat. Aku hanya bisa memberikan motivasi alakadarnya. Tidak bisa memberikan wajah tampan. Hahahahaha... Ah.. Toh, sebentar lagi dia pasti akan baik-baik saja.

“Gue berasa kayak anak kecil. Bahkan ponakan gue yang umurnya baru lima taun aja lebih dewasa dari gue. Sumpah. Tamparan keras! Pengen nangis gue. Kesel sama diri sendiri. Betapa bodohnya.”
Sinyalnya sudah membaik. Pesanku sampai dengan cepat.

“Lo pengen nangis? Gue malah pengen ketawa didepan muka lo.. Kayaknya enak!”

Aku mengubah posisi duduk supaya lebih nyaman, walaupun semua posisi terasa tak nyaman di kursi penumpang ini. Kuputuskan untuk memutar music player diponselku. Semoga bisa mengusir rasa tidak nyaman akibat kursi ini.

“Iya, boleh deh lo mau gimana... Gue lagi menerima caci maki 1x24 jam nih. Lo tau gak, gue pengen banget rasanya pake sempak dikepala. Adem kali yak?”

“Iye! Buruan lo foto, terus pajang deh jadi display picture... aaah, lo! Ada ada ajaaaa..”

“Share FB dan Twitter juga sekalian ya.. Gue minta maap ya nyong kalo ngecewain lo.. Yang penting gue udah jujur, gue harap lo mau menerima permintaan maap gue.”

Kenapa jadi minta maaf? Dia pikir ini Lebaran. 

Gue juga udah minta maap ke kakak gue. Lewat bbm sih, tapi untungnya dia gak marah..”

“Lo minta maapnya gimana?”

“Ya kayak cerita gue tadi, dia bisa nerima kok. Gak heboh kayak biasanya.. Gue bilang semuanya, gue bilang apa yang gue rasain. Ini pelajaran bagus buat gue, mungkin juga buat semua orang..”

Sejenak perhatianku berada diluar jendela. Tidak terasa aku sudah sampai di Pekalongan. Kota Batik. Batik, yang dulu pernah diklaim negara tetangga sebagai bagian dari budayanya. Untung saja kota ini tidak ikut diklaim juga. Berbahagialah bangsa ini karena sudah diselamatkan reputasinya oleh UNESCO yang telah mengembalikan batik ketempatnya semula. 

“Bagus deh kalo lo bisa memetik pelajaran..”

“Memaafkan itu bener-bener dahsyat ya efeknya, lebih kejam daripada dimarahin! Paham gak lo??”
“Yaiyalaaaahh.. Efeknya langsung kehati. Kehati, tapi gak jadi emosi. Beda kalo dimarahin, efeknya kehati juga tapi jadi emosi..”

“Iya, hebat banget rasa mirisnya.”

“Hati berasa cekit-cekit kan. Lebih parah daripada diputusin rasanya...”

“Iye cekit-cekit.. Gak tau mau nangis apa mau nahan. Rasanya kayak pas muka gue ditempelin buah dada.. Gimana gitu rasanya...”

“Lah? Apaan hubungannya sama buah dada?? Ah, bagian ini gue blur...”

“Lagian lo, hubungannya apa sama diputusin...”

“Ya kan kalo diputusin juga rasanya cekit-cekit, bego.. kalo ditempelin buah dada mah rasanya sir-siran! Oke, di skip aja bagian buah dadanya. Terus, analogi yang pas apa dong?”

“Oke. Jadi rasanya itu semacam dulu waktu kecil gue minta mainan, udah dijanjiin sama emak gue tapi pas udah ditokonya gak jadi dibeliin. Terus pulang, sampe rumah gue ngerasa jadi anak yang terbuang. Mojok dikamar sambil berkata dalam hati,’Kenapa hidupku malang seperti ini Tuhan?’”

Rasa-rasanya, analogi ini kurang pas. Terdengar kurang nyambung. Ternyata bermain analogi itu tidak mudah. Komitmen, buah dada, dan sedih. Apa analogi yang pas untuk itu? Otakku hari ini terlalu pekat untuk memikirkannya. Yang jelas, Guntur sudah menambah beban pikiranku akan hal ini. Ditambah lagi, ponselku sudah mengeluarkan kedipan berwarna oranye, tanda batre melemah. 

Jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 12.00. Harusnya lima belas menit lagi kereta ini sampai dikota tujuanku, itu kalau sesuai jadwal. Semoga saja tidak molor dari jadwal yang sudah susah payah dibuat. 

“Kok rasanya gak nyambung ya nyong? Ah, pokoknya cekit-cekitlaaahh..”
“Iye gak nyambung! Eh, batre gue low nih. Entar kalo gue udah nyampe kos kita lanjutin deh ya. Pokoknya, saran gue lo benahin deh tuh hidup lo. At least, lo hargai waktu. Bersyukur udah dipinjemin waktu sama Tuhan. Udah untung gak disuruh bayar kan, gratis. Coba kalo disuruh bayar, mau bayar pake apa? Pahala lo juga gak cukup! Hahahahahaaaaa...”

Saat 20 menit yang terasa panjang berlalu, akhirnya gema ucapan selamat datang dari sebuah mikrofon yang entah ada dimana menyadarkanku kalau kereta sudah tiba di kota tujuanku. Orang-orang pada ribut memberesi barang-barang bawaannya. Sekardus dua kardus beratnya. Berat rasanya harus meninggalkan kereta ini, karena tandanya aku harus meyudahi perjalananku kali ini. Padahal aku masih ingin melamun, merenung, menjamahi khayalan. Satu-satunya kegiatan yang menolongku mengalokasikan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan dalam hidupku. Kegiatan yang menyadarkanku bahwa ternyata merenung dalam perjalanan itu lebih menyenangkan ketimbang menenggak kesendirian didalam kamar kos. Aku selalu bahagia menjalani perjalanan!

Ponselku bersuara lagi. “Setaaaaaaaan! Pahala lo juga itu sumbangan dari gue, kampreeeett... Yauda, kabarin gue ya kalo lo udah sampe kos. Oke, pesek! Muuaacch!”

Kuakhiri obrolanku dengan Guntur dan memasukkan ponselku kedalam ransel. Aku sudah siap didepan pintu kereta, menunggunya terbuka. Sambil menunggu, aku menyimak kegiatan segerombolan anak muda dibelakangku yang sibuk tertawa dan bersenda gurau dengan bahasa yang terdengar aneh ditelingaku. Lucu, tapi aku suka. Logat itu yang belum bisa aku kuasai. Logat kental dan medok yang tidak semua orang didunia ini mampu kuasai. Logat yang sangat representatif akan keberagaman suku dan bahasa di negeriku. Jujur, aku sering menahan tawa jika orang-orang macam mereka sedang berkumpul dan dengan jumawa memamerkan keunikan mereka. Aku langsung tahu asal mereka. Semacam, determiner. Beruntunglah mereka yang mempunyai identitas yang jelas dan bangga akan hal itu. Aku malah merasa kasihan pada mereka yang seolah-olah ingin menutupi identitas mereka demi eksistensi dan prestis. Atas nama gengsi dan status sosial. Setidaknya, anak-anak muda ini sudah berani untuk jujur kepada telingaku bahwa menjadi berbeda dan lucu itu outstanding. Mereka bukti nyata dari negeri yang heterogen ini.

Pikiranku terpaksa berhenti  ketika pintu akhirnya terbuka secara otomatis. Para penumpang bergegas turun dari kereta dan beramai-ramai menuju pintu keluar. Dipintu keluar setasiun, sudah menunggu para tukang becak, supir taksi, dan tukang ojek untuk meraih simpati para penumpang agar mau menggunakan jasa mereka. Aku menampik tawaran mereka karena aku akan mengunakan jasa angkot. Lebih nyaman walaupun berdesak-desakan. 

Sesampainya ditempat angkot biasa ngetem, aku menunggu beberapa saat sampai akhirnya ada angkot kosong yang berhenti didepanku. Tanpa pikir panjang aku langsung saja naik karena sudah tidak tahan panas matahari yang membakar kulit. Sembari menunggu angkot penuh, ku alihkan pandanganku arah setasiun. Aku pasti akan merindukannya selama satu minggu ini. Merindukan suasananya yang hiruk pikuk, merindukan bisingnya suara kereta, merindukan perjalanan yang entah akan membawa renunganku kemana. Dialog dikereta pagi ini dengan Guntur menyisakan sejumput penyesalan. Penyesalan tentang betapa selama ini, ternyata, aku hanya pura-pura paham soal komitmen. Konsep yang kutenggarai adalah hal suci, namun adalah hal mengerikan buat sebagian orang. Semoga saja perjalanan minggu depan mengantarku ke sebuah telaga yang mengalirkan beribu jawaban tentang hidup. Juga, semoga minggu depan Guntur sudah tahu bagaimana caranya berhadapan dengan kakak iparnya, menjalani weekend yang menyenangkan, tanpa perlu mengganggu kekusyukan perjalananku. Sehingga aku tidak perlu lagi terusik perihal yang berhubungan dengan komitmen.  

BUMIAYU
April 2013

Komentar

Postingan Populer