Diatas Rel

Hari ini kehidupanku berjalan diatas rel. Perjalanan 3 jam yang bernuansa terang benderang matahari.
Untuk kali ini lagi, perjalananku berada diatas rel.
Diseliweri pepohonan yang kadang hijau, kadang meranggas.
Diselingi sawah ladang terhampar kekeringan.
Aku menghela napas dan bergumam,
"Sepertinya negeri ini akan masih dikutuk oleh Tuhan..."
Negeri yang selalu menjual harga dirinya hanya untuk sebuah nilai mata uang.
Sungguh riskan.

Perjalanan kali ini ke kota Atlas hanya ditemani perasaan tak bernama. Tenang. Hambar. Jengah. Juga bahagia.
Perpaduann yang tak lazim disebut normal. Namun jangan paksaku mengoreksinya. Itulah yang ada.
Dan perjalananku diatas rel kali ini tidak seperti biasanya, bersemu abu-abu..
Tidak jelas.
Diawal perjalananku, berkelebatan wajah-wajah sendu kehitaman diterpa terik surya yang sedang sibuk mengurusi sawah-sawah kerontang.
Menuai sesuatu yang sukar dituai, karena padi hanya jadi hiasan. Bukan lagi sumber penghasilan.
Aku melihat lagi.
Dari kaca jendela kendaraan roda besi berkelas ekonomi ini, bentangan langit berwarna biru lebam seperti kena tampar, tak ada seekor pun burung berkeliaran.
Tak ada seekor pun yang seharusnya terbang menari-nari pongah seolah-olah menertawai langit dan segerombolan manusia yang sibuk berladang.
Dimanakah gambaran itu?
Mataku memicing...
Sembari masih memandang keluar jendela, memoriku membludak akhirnya.
Aku teringat!
Itulah gambaran pedesaan dibuku gambarku sewaktu aku berusia tujuh.
Gambar pemandangan yang seyogyanya menjadi ciri sebuah pedesaan...
Pemandangan lugu pedesaan dari seorang bocah lugu berusia tujuh.

Keretaku berhenti sejenak.
Mengangkut lagi orang-orang untuk diajaknya menuju kota Atlas.
Dilorong sempit ini mereka sibuk mencari kursi sesuai yang tertera ditiket mereka. Tertatih membawa barang-barang bawaan mereka yang dua kardus isinya.
Terburu-buru mendudukkan bokong mereka diatas kursi yang luar biasa tipis busanya.
Semenit dua menit kereta melaju lagi menerobos udara.

Masih diatas rel ini, perjalananku mulai lagi diuraikan.
Teralihkan lagi pandanganku keluar jendela kotor bernoda untuk kesekian kalinya.
Terlihat anak sungai dibawah jembatan, ditutupi macam-macam hiasan berwarna hijau, merah, kuning, biru, bahkan warna-warna tak bernama.
Itulah warna-warna sampah plastik yang berenang-renang tak tentu arah diatas air sungai yang gundah gulana.
Ya.. Sungainya gundah gulana...
Dia tak mengerti lagi mengapa dia disebut sungai.
Karena seharusnya dia tempat orang-orang mandi-mandi disaat fajar, dan tempat para tetangga bersenda gurau disaat senja...
Bukan wadah masif untuk menggelontorkan sampah-sampah yang telah terkumpul dari masing-masing rumah tangga.
Bukan juga lokasi untuk bermuaranya limbah-limbah yang mampu merenggut nyawa.
Nyawanya ikan, kepiting, lumut, katak, bahkan anak balita...
Apalagi, dia juga bukan tempat untuk membuang tubuh-tubuh manusia seenaknya!
Namun dia diam-diam saja, menerima dengan legawa karena tahu Tuhan dipihaknya.

Kesekian kali perjalananku terhenti.
Distasiun kecil yang dipagari pepohonan hijau kecoklatan.
Stasiun kecil bernama Comal.

Wuuussss... Wuuuuussss...

Udara mulai tak berkenan.
Panas, pengap, dan gersang.
Ditambah kantuk yang mulai menggerayangi mata, membuatku lelah berusaha agar tetap terjaga.
Aku tak ingin tertidur!
Perjalanan ini sedang aku nikmati betul.
Tak sudi aku nodai dengan tidur, nanti cerita perjalananku jadi ngawur...

Laju kembali keretaku menuju kota Atlas. Dengan kecepatan yang menyebalkan membuat waktu terasa musuh yang harus secepatnya dibinasakan.
Mungkin kereta dinegeri ini adalah kereta dengan kecepatan paling lambat yang pernah dibuat dimuka bumi ini.
Suaranya saja yang garang menggadang-gadang, namun lajunya sungguh malang.
Asap hitam bekas pembakaran mengudara dan menelusup masuk sebisanya lewat celah-celah jendela. Menjadikan udara digerbong ini serupa tungku pembakaran.
Bah!
Tak lagi-lagi aku meratap.
Sudah terbiasa dengan hal macam begini.

Tak terasa kereta ini menyempatkan lagi berhenti dikota Batik.
Mengangkut lagi sejumlah orang yang bertujuan sama denganku.
Ah!
Memangnya kemana tujuanku?
Perjalanan kereta ini memang ke kota Atlas.
Tapi, perjalananku?
Kemana tujuannya apakah sudah tentu?
Belum tentu.
Karena aku masih berjibaku dengan waktu yang mulai terasa kaku ketika bersentuhan dengan tujuan dalam hidupku.
Tentang lelaki.
Lelaki dihidupku kelak.
Tentang siapa yang nanti akan menjadi lelaki nomor satu dalam ranah romantisme rumah tanggaku..
Terasa sangat abu-abu.

Baiklah, biarkan aku menyelesaikan dulu perjalanan diatas rel ini.
Mencapai titik Atlas yang ku tuju dengan tanpa tujuan.
Dan 'by the way', kota Batik telah dilewati.
Hijau-hijau gersang pun hampir berlalu yang kemudian digantikan dengan ombak-ombak kecil.
Meniadakan sinyal-sinyal telepon seluler.
Pemandangan laut yang hampa dan tidak terlalu luar biasa menjelma menjadi sesuatu yang membuatku mual.
Bau amis!
Tak tertolong...
Segerakan laju kereta!
Aku mual!

Jeeesss... jeessss...

Lajulah kereta, lajulah!

Dan akhirnya, Atlas sudah dijejaki.
Aku membuang rasa mual itu jauh-jauh demi menikmati waktu-waktu untuk membunuh kebosanan.
Tersingkaplah tujuan persinggahanku disini.
Bukan tentang lelaki.
Namun tentang upaya menggadaikan sejenak rutinitasku untuk menukarnya dengan secuil gelak tawa lepas bersama teman-teman sejawat.
Tak menghiraukan kekasih yang rindu-rindunya sudah bersyahwat.
Kekasih yang ditenggarai hanya akan numpang lewat dalam panjangya jalan hidupku yang sekarang berada dititik gawat.
Tak mengapalah.
Duka toh adalah teman, dan suka berada juga disebelahnya.
Jadi tak perlu aku menuduh-nuduh siapa yang lebih memihakku karena toh mereka selalu bersamaku, duka dan suka.

Haaaaaa....

Terhiruplah udara Atlas yang gersang dan meradang.
Udara kebebasan.
Kebebasan yang aneh, tetapi.
Tak apalah.
Sudah aku terbiasa dengan ini.

Baiklah...

"Langkahkan kaki menuju pintu keluar, lalu temuilah bentangan suka cita bersama teman-temanmu..."
batinku melirih.
Dan kemudian kisahku diatas rel berhenti sejenak.
Dengan mata menyipit memandang jauh menyeruak keluar stasiun, kemudian bibirku menyulam senyum sedikit sembari bergumam...
"Sambutlah aku, kau Atlas yang panas dan ganas...."

Komentar

  1. greaat!!emg pinter ngata2in cerita ya kamuuhh.. :D

    oya, kirain udh ga ada galaunya buu..hehe..
    tujuan wanita bukan hanya laki2..
    wanita (dan pria) harus bisa memantaskan diri hingga akhirnya, menemukan apa yg dicari..
    yg pasti perbaiki diri.. ;) #selftalk

    BalasHapus
  2. hehehehehehe..
    kebaca deh yaa isi hatiku.
    aaahhh!!
    selftalk juga buat akuu.
    hahahahaha!

    thanks for the appreciation by the way

    BalasHapus
  3. another blog yu? yg hoppipola?
    font tulisannya bikin males dibaca ama orang yang matanya uda rusak kaya gw yu..
    hehehee...
    eniwei, kok kaya postingan lu sedih semua ya?

    BalasHapus
  4. laahh inii udh lama bang hendraa, yg hoppipola masii adee..
    ini bang, bukan sedih .
    cuman.. gambaran proses apa yg alamin dan gw liat.
    itu doang.
    kalo sedih, gak juga siyh..
    lau kapan merit bang???
    hahahahahah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer