Penawaran : Rekonstruksi Makna Atas Seks Bebas



Waktu saya baca artikel tentang seluk beluk dunia “ayam kampus” yang dimuat oleh salah satu surat kabar online terkemuka di Indonesia, disitu tertulis hasil wawancara dengan salah satu narasumber yang merupakan seorang sosiolog dari universitas Airlangga. Beliau, Dede Oetomo,  menyiratkan bahwa hal tersebut merupakan fenomena wajar yang tidak patut dilebih-lebihkan. Bahkan beliau cenderung menyalahkan cara pandang masyarakat yang masih konservatif dengan mengatakan begini,”Orang muda siap melakukan hubungan seks, kok ditahan?” (tempo.co, 17 Februari 2013). Sampai kalimat ini, otak saya begitupun Anda, saya percaya, mengalami yang namanya semacam perasaan aneh yang sulit diterjemahkan saat itu juga. Seperti ingin meng-iya-kan, namun sejurus kemudian dengan sekuat tenaga ingin menolaknya juga. Apalagi ketika beliau melanjutkan lagi pendapatnya bahwa menjajakan seks merupakan sebuah solusi dari ketidaksiapan kaum muda memikul tanggung jawab pernikahan. Asal suka sama suka, begitu kata beliau.

Otak saya masih mengejang ketika membaca kalimat-kalimat diartikel tersebut, sampai akhirnya saya memutuskan untuk memuntahkan pikiran saya kedalam tulisan ini. Namun sebelumnya, saya merasa perlu mengulik pendapat-pendapat dari teman-teman yang saya percaya bisa menjernihkan kekacauan diotak saya. Tapi perlu diketahui bahwa saya tidak akan membahas tentang dunia “ayam kampus” lantaran wacana tersebut sudah diulas dengan apik di tempo.co. Bahasan saya yang ringan-ringan saja, sambil mengajak kita berpikir bersama dan mencapai mufakat yang beradab.

Baiklah. Mari kita membahas tentang hal yang sebenarnya tabu, namun seiring berjalannya waktu malah menjadi lumrah. Ya! Seks bebas. Terlepas dari fenomena “ayam kampus” yang menurut saya merupakan produk dari seks bebas, lebih dulu saya ingin membeberkan beberapa pendapat tentang seks bebas dari beberapa sumber mengenai hal ini.

Pengertian seks bebas menurut Kartono (1977) merupakan perilaku yang didorong oleh hasrat seksual, dimana kebutuhan tersebut menjadi lebih bebas jika dibandingkan dengan sistem regulasi tradisional dan bertentangan dengan sistem norma yang berlaku dalam masyarakat.

Sedangkan menurut Nevid dkk (1995) mengungkapkan bahwa perilaku seks pranikah (seks bebas) adalah hubungan seks antara pria dan wanita meskipun tanpa adanya ikatan selama ada ketertarikan secara fisik.

Selanjutnya, menurut Sarwono (2003) seks bebas adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, mulai dari tingkah laku yang dilakukannya seperti kissing(berciuman), necking(bercumbu sambil memegang payudara atau oral seks), petting(bercumbu sambil menggesek-gesekan alat kelamin), dan intercourse(bersenggama).

Jadi bisa disimpulkan bahwa seks bebas adalah perilaku seksual yang tidak sesuai norma didorong oleh hasrat seksual yang kegiatannya meliputi kissing, necking, petting, serta intercourse.


Nah sekarang kita padu-padankan dengan pendapat-pendapat teman-teman saya yang budiman mengenai seks bebas itu sendiri. Menurut teman saya yang bernama Koko, seks bebas adalah “ngeseks dengan gaya bebas.. mau nungging, mau ngangkang, mau miring.. Suka-suka..” Yah, betul juga sih apa katanya. Tapi bukan itu yang saya cari. Sebagian besar teman-teman saya (selain Koko)  menjawab definisi seks bebas secara umum, adalah perilaku seksual yang dilakukan atas dasar suka sama oleh pasangan yang bukan muhrim atau diluar nikah. Tambahan dari saya, dan mungkin perlu digarisbawahi, pasangan yang bukan lawan jenis bisa juga dikategorikan kedalam hal ini. Tapi bukan itu yang akan saya gelar disini, nanti terlalu ruwet. Mereka juga berpendapat bahwa masyarakat yang menurut pandangan Dede Oetomo konservatif tidak bisa disalahkan. Lantaran, menurut teman saya sebut saja Malih, mind-set masyarakat yang memandang bahwa seks bebas itu salah didasari oleh norma, pendidikan disekolah,pendidikan dirumah dan ajaran agama. Kemudian senada dengan Malih, teman saya sebut saja Narjo mengatakan bahwa ketidaksetujuan masyarakat terhadap fenomena seks bebas adalah karena itu merupakan bentuk resistensi masyarakat akan dampak dari seks bebas itu sendiri. Seperti contoh, hamil diluar nikah. Masyarakat belum atau mungkin tidak terbiasa dengan peristiwa hamil diluar nikah. Mereka tidak siap mengalami peristiwa yang disebut oleh sebagian besar masyarakat sebagai aib. Maka dari itu sah-sah saja masyarakat menilai seks bebas dengan nyinyir. Lalu dari kalangan teman wanita, salah satunya(sebut saja) Nori juga menyelaraskan nada yang sama dengan Malih dan Narjo bahwa tidak masalah masyarakat berpikir negatif terhadap seks bebas selama dirinya tidak terusik. Mungkin lebih tepatnya tidak ketahuan ya, supaya tidak terusik. Intinya, bahwa masyarakat berhak memberikan penilaian negatif terhadap seks bebas selama para pelaku seks bebas tidak terusik oleh penilaian tersebut. Toh, ini kan hanya sekedar resistensi dalam bentuk penilaian. Bukan resistensi secara fisik. Bukan begitu, para pelaku? Kalaupun seandainya resistensi fisik dilakukan secara konsisten, berdoalah supaya kamu tidak tertangkap dalam keadaan bugil.

Well, mari kita beralih kepada para pelaku pasif seks bebas. Saya kategorikan pasif karena mereka tidak melakukan seks bebas secara fisik aktif, tapi (kadang-kadang) menikmati adegan-adegan seks bebas seperti yang terkandung dalam media-media seperti majalah, buku, gambar, atau film. Ketika saya bertanya kepada seorang teman lelaki yang mengaku belum pernah berhubungan seks, “Apakah kamu salah seorang yang memandang bahwa seks bebas itu patut diperangi?” Christian (nama samaran, karena nama aslinya terdengar norak) mengatakan tidak. Dia menjelaskan bahwa seseorang bebas menentukan jalan hidupnya selama tidak merugikan orang lain. Kemudian saya lanjut bertanya, “Berarti bisa disimpulkan bahwa anda orang yang setuju dengan seks bebas?” Christian berargumen, “Saya netral, nggak membela ataupun menolak”.  “Tapi kan kalo netral bisa dianggap melarikan diri dari pilihan. Pilihan antara setuju dan tidak setuju.. Hmm, netral mungkin karena anda bukan pelaku seks bebas tapi penikmat fenomena seks bebas?” Christian menerangkan “Netral itu bukan karena melarikan diri dari pilihan. Bukankah netral itu pilihan?”(Setahu saya netral itu nama band rock..) “Penikmat seks bebas(pelaku pasif)?Iya, soalnya di film barat aja sudah ada unsur-unsur seperti itu. Nggak bisa dipungkiri..” Nah! Inilah. Bahwa kita tidak bisa begitu saja menghakimi para pelaku seks bebas karena disisi lain kita juga menikmatinya, walaupun tidak secara fisik aktif atau intercourse. Mungkin secara implisit, bisa jadi Christian atau sebagian kita sejalan dengan pemikiran Dede Oetome meski kadar agreement-nya tidak setara. Lanjut lagi, seirama dengan Christian teman saya yang lain yang bernama Jubaedah (lagi-lagi saya samarkan demi kepentingan bersama) bahwa dia memposisikan dirinya sebagai ‘golput’ terhadap fenomena ini. Menyatakan bahwa prinsip ‘elo elo gue gue’ adalah prinsip yang cocok untuk keadaan seperti ini. Jubaedah juga mengatakan, sebenarnya dirinya kurang setuju terhadap seks bebas tapi kenyataan bahwa lingkungannya telah terkontaminasi maka dia tidak bisa menyangkal. Sehingga dia harus membentengi dirinya sendiri agar tidak ikut terkontaminasi. Dan saya akui, saya salut terhadap konsistensi Jubaedah dalam mempertahankan prinsip tersebut. Mengutip tagline dari girl band kenamaan Indonesia, Cherrybelle, ISTIMEWA!!

Pendapat-pendapat diatas merupakan pandangan yang bisa memberikan sesuatu yang baru dalam menyimpulkan fenomena seks bebas. Makna khusus sudah dibentuk sendiri-sendiri oleh para pelaku seks bebas. Pendapat saya? Kurang lebih sama, yaitu berhubungan seks diluar nikah. Tetapi sejalan dengan pikiran sebagian besar teman-teman yang tidak menjadikan seks sebagai komoditi, bahwa melakukan seks bebas lebih baik dengan orang yang kita sayang dan benar-benar sayang dengan kita bukan dengan yang mengaku-ngaku sayang. Point taken! Lebih jauh lagi  saya beropini begini, “Seks bebas itu seperti halnya ngupil!”. Sudah menjadi hal yang lumrah, wajar, dan bukan fenomena lagi. Coba kita pikir, sewaktu kita ngupil pasti kita ingin melakukannya diruang yang tertutup. Terhindar dari pandangan orang karena sangat tidak nyaman ketika sedang asyik ngupil banyak mata yang tertuju pada kegiatan menyenangkan tersebut. Coba bayangkan, saat kita tengah berjalan-jalan di mall yang riuh tiba-tiba saja kita kebelet ngupil. Apa kita bakal ngupil sambil jalan? Saya rasa tidak mungkin. Kalaupun mungkin, kita pasti akan menggunakan beberapa trik supaya tidak terlihat seperti ngupil. Habis perkara. Kalaupun ada yang suka ngupil didekat orang, orang itu juga pasti suka ngupil didekat orang lain juga. Intinya, kita akan lebih bisa nyaman dan blak-blakan jika ngupil didekat orang yang sepaham bahwa ngupil itu lumrah, wajar, dan bukan fenomena. Kenapa saya katakan lumrah, karena itu merupakan kebutuhan. Lalu mengapa wajar, karena memang suatu kewajaran jika kita ingin memenuhi kebutuhan kita. Kemudian, kenapa hal itu bukan fenomena karena bagaimana bisa disebut fenomena jika kita hanya melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan. Itulah mengapa ngupil dan seks bebas(dalam pengertian saya dan beberapa teman) bisa dibilang mirip.

Lain hal jika kemiripan ngupil dan seks bebas disinggung dalam konteks agama. Maka sudah mutlak haram disamakan. Kadar pembahasan didalamnya saja sudah sangat berbeda, apalagi jika dikaji dalam hal kadar dosa. Maka ngupil tidak berbanding lurus dengan seks bebas. Lalu bagaimana seharusnya sikap dan hati kita yang juga sebagai umat beragama? Sebagai mahluk yang mengakui adanya Tuhan Sang Maha Esa? Dalam lubuk hati yang paling dalam kita pasti ingin menjadi jiwa yang bersih dan suci dihadapan Tuhan. Didasar nurani pasti kita ingin menolak jiwa dan pemikiran kita yang sekarang. Namun jika ditilik lebih komprehensif lagi, esensi manusia yang seperti apakah yang pantas dihadapan Tuhan? Hanya Tuhan-lah yang berhak menentukan, bukan manusia. Sampai sekarang pun saya berpikir, mungkin kita semuanya berpikir, bahwa segala macam kejadian yang menyimpang dari agama yang saya (dan kita) alami adalah sebuah proses unik dan mendebarkan untuk menuju jalan Tuhan. Jalan menuju pembenahan diri yang hakiki dan sejati. Berproses menjadi sesuatu yang lebih indah dan berharga dimata Tuhan. Sebuah proses yang sengaja dihadirkan Tuhan agar kita bisa memahami bahwa Dia mendambakan kebaikan pada diri kita. Bahwa Dia-lah Sang Guru dan Sang Penilai atas segala upaya manusia mengarungi proses dalam menelaah dosa. Maka bersyukurlah kita atas waktu yang telah dipinjamkan oleh-Nya.


Untuk itu, pemaknaan tentang fenomena seks bebas ini adalah milik individu per individu. Boleh didasari apa saja, selama bisa dipertanggungjawabkan. Bentuk penyikapannya juga boleh jadi berbeda-beda namun bisa juga seragam. Asalkan tidak terjebak dalam hipokrasi, tidak masalah. Toh, saya serta kita semua tidak munafik dan tidak tutup mata akan persoalan ini karena kita berperan aktif didalamnya. Ada yang menyangkal? Semoga tidak.



DAFTAR PUSTAKA

http://www.psychologymania.com

Komentar

  1. Tulisan lumayan oke untuk seorang yg berkomitmen seperti eloh... paan......

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer