Lembar Pengakuan Halaman Dua
Malam
ini aku tidak bisa tidur. Gelisah minta ampun. Sampai-sampai membuat jantungku
berirama sumbang. Detaknya pun seperti gendang yang ditendang-tendang. Sudah
berpuluh kali aku mengubah posisi tubuh. Telentang, tengkurap, miring kanan,
miring kiri, balik lagi telentang, tengkurap, miring kanan miring kiri. Begitu
terus. Malahan bikin badanku penuh peluh. Padahal kipas angin dikamarku sudah
berkekuatan penuh. Apa daya, semua itu tidak berhasil menggodaku untuk tidur.
Keterlaluan..“Aku butuh tidur! Tapi
kantukku malah kabur!”
Aku melirik ke arah kiri atas, jam dinding bulat berwarna coklat tua yang berseberangan dengan tempat tidurku, sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Tak biasanya aku begini.. Pasti gara-gara surat itu! Surat pengakuan yg kubuat diatas kertas berwarna merah jambu kelabu, yg berisi pernyataan-pernyataan pahit mengharu biru. Ah!
Aku palingkan pandanganku ke arah langit-langit kamarku. Langit-langit yg seharusnya berwarna abu-abu sendu, membiaskan warna jingga akibat dari lampu tidur yang kunyalakan sebagai pengganti lampu utama. Aku memang tidak pernah berani meniadakan penerangan dikamarku sepenuhnya, lantaran takut akan hal- hal gaib. Membuat keberanianku raib.
Suasana sangat hening. Hanya ada suara mendesau dari kipas anginku yg berwarna kuning.
Dibawah selimut tebal ini dan ditemani sinar bulan yang sedikit mengintip dari jendela disebelah kananku, mataku masih terpaku pada langi-langit kamarku. Merenungi apa yang terjadi pagi kemarin, hari Sabtu. Mondar-mandir bayangan tentang Aryo melintasi langit-langit abu-abu. Masih jelas dalam bayangan itu, raut wajahnya yang tercengang, pucat pasi, dan menegang setelah membaca surat merah jambu-ku. Padahal itu hanya lembar pengakuan tiga halaman. Dan, ketika pada halaman dua perasaannya tak keruan.
Aku melirik ke arah kiri atas, jam dinding bulat berwarna coklat tua yang berseberangan dengan tempat tidurku, sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Tak biasanya aku begini.. Pasti gara-gara surat itu! Surat pengakuan yg kubuat diatas kertas berwarna merah jambu kelabu, yg berisi pernyataan-pernyataan pahit mengharu biru. Ah!
Aku palingkan pandanganku ke arah langit-langit kamarku. Langit-langit yg seharusnya berwarna abu-abu sendu, membiaskan warna jingga akibat dari lampu tidur yang kunyalakan sebagai pengganti lampu utama. Aku memang tidak pernah berani meniadakan penerangan dikamarku sepenuhnya, lantaran takut akan hal- hal gaib. Membuat keberanianku raib.
Suasana sangat hening. Hanya ada suara mendesau dari kipas anginku yg berwarna kuning.
Dibawah selimut tebal ini dan ditemani sinar bulan yang sedikit mengintip dari jendela disebelah kananku, mataku masih terpaku pada langi-langit kamarku. Merenungi apa yang terjadi pagi kemarin, hari Sabtu. Mondar-mandir bayangan tentang Aryo melintasi langit-langit abu-abu. Masih jelas dalam bayangan itu, raut wajahnya yang tercengang, pucat pasi, dan menegang setelah membaca surat merah jambu-ku. Padahal itu hanya lembar pengakuan tiga halaman. Dan, ketika pada halaman dua perasaannya tak keruan.
Masih
segar dalam ingatanku Sabtu pagi itu pukul
sembilan, dengan tergesa-gesa aku berangkat dari rumah menuju kampus.
Sebenarnya pagi itu aku sedang tidak dalam keharusan berangkat kuliah karena
memang tidak ada jadwal kuliah. Namun ada yang harus aku lakukan, dan harus
segera. Untung saja jarak rumah dengan
kampus tidak seberapa jauh sehingga
mempercepat urusan ini agar segera berlalu. Urusan yang akan melibatkan emosiku
dan Aryo, lelaki komplementerku. Lelaki yang selama empat tahun ini menemaniku,
entah sebagai apa. Lelaki yang selama empat tahun ini hanya ku anggap sebagai
pelengkap kesepianku. Tanpa sepengetahuannya, aku tak pernah benar-benar
menyayanginya. Tanpa sepengetahuannya juga, aku tak pernah bisa menikmati senda
guraunya. Namun dia tak pernah curiga akan kepura-puraanku selama ini, tak
sedikitpun.
Aryo
adalah lelaki yang menyenangkan. Sejauh ini, semenjak aku mengenalnya sedari
semester tiga dia jarang sekali marah atau menunjukkan emosi didepanku. Selalu
terkendali. Entah aura apa yang menaunginya, setiap orang yang berada
didekatnya tak pernah merasa bosan. Mereka senang sekali berkelakar bersama
Aryo. Menertawai lelucon-lelucon yang dilontarkan Aryo walaupun kadang
sebenarnya tidak lucu. Wajahnya yang berseri-seri jika sedang tersenyum ataupun
tertawa sudah pasti menjerat hati banyak mahasiwi. Aku akui, Aryo tidak bisa disebut buruk rupa.
Dengan proporsi tubuh yang ideal, paras rupawan dan ceria, merupakan komposisi
indah untuk seorang lelaki muda. Bahkan bisa jadi dialah idaman para mahasiswi
dikampus ini. Maka banyak yang mengatakan bahwa aku beruntung bisa mendapatkan
Aryo sampai detik ini. Entahlah.
Setelah
lelah menelisik kelas-kelas dilantai satu, aku mulai melusuri kelas-kelas
dilantai dua dengan tenaga yang tersisa untuk mencari keberadaan Aryo. Aku berharap bahwa hari ini dia ada jadwal
kuliah. Jujur saja, aku tidak pernah hapal jadwal kuliahnya. Makanya aku
kelimpungan mencari dia sekarang. Bukan karena otakku tidak mampu mengingat
atau mengalami demensia. Tapi lebih
kepada perasaan enggan. Enggan untuk mengingat, mungkin juga enggan terlibat
hal-hal sepele. Walaupun akhirnya malah menyusahkanku seperti sekarang ini,
tapi aku sama sekali tidak menyesalinya. Semua tindakan punya konsekuensi.
Layaknya tindakanku sebentar lagi terhadap Aryo. Pemikiran ini membuat
adrenalinku melonjak, berhimpitan di pembuluh darah, meraung-raung minta
diperhatikan. Ah! Aku malah jadi
gregetan..
Satu
jam sudah aku berkeliling untuk menemukan keberadaan Aryo. Sukar sekali menebak
dimana dia berada karena keputusanku untuk menemuinya tanpa pemberitahuan sudah
bulat. Sehingga apapun yang terjadi, aku harus tetap mempertahankan tekad!
Akhirnya aku memutuskan untuk mencari Aryo di kosnya. Siapa tahu dia ada
disana. Dengan tergesa-gesa aku menuju ke kediaman Aryo yang, untungnya, hanya
berjarak lima menit saja dari kampus. Sekuat tenaga aku mengobarkan niatku agar
tidak pupus. Niat baikku untuk memperbaiki tujuan hidupku agar jelas dan tegas,
sudah tersusun rapi didalam surat ditangan kananku ini. Lembar pengakuan yang
kutulis dengan tinta hitam, bukan warna-warni. Representasi tentang bagaimana
perasaanku terhadap Aryo selama ini. Hanya satu warna dengan satu makna. Hitam.
Dengan
setengah berlari akhrinya aku sampai juga didepan kos Aryo. Aku menerobos pintu
pagar tinggi itu, pagar besi tinggi berwarna merah bata yang menghalangi
jalanku. Sudah tidak sabar aku ingin segera menemui lelaki itu. Lantaran sangat
diburu adrenalin, hampir saja aku meremas surat penentu nasib ditangan kananku.
Tak lama setelah ku terobos pintu merah itu, tampak sudah kamar Aryo didepanku.
Kamarnya memliki pintu berwarna cokelat tanah bertuliskan papan nama Aryo
Harmawan, dipadu dengan dinding berwarna putih tulang. Baik pintu maupun
dindingnya terlihat rapuh karena lubang disana-sini, dan guratan-guratan kasar
dipermukaannya. Rak sepatu berwarna hitam yang tersusun rapih disebelah kanan
pintu membuatku tersadar kalau ternyata Aryo adalah lelaki yang teratur. Dan
aku baru menyadarinya setelah empat tahun. Ku alihkan pandanganku dari rak
sepatu ke pintu lalu mulai mengetuknya. Sempat ragu beberapa detik, namun
akhirnya kekuatan surat itu menyerangku.
“TOK!
TOK! TOK!”
Ketukan
pertama, zero response.
“TOK!
TOK! TOK”
Beberapa
detik aku terdiam, menunggu dengan tidak sabar, berharap seorang perempuan
keluar dari kamarnya. Seolah-olah sedang tertangkap selingkuh. Akan lebih
membuatku lega, alibiku untuk marah akan lebih sempurna. Membuatku tak berdosa.
Namun, ternyata harapanku terlalu mengada-ada karena jelas-jelas Aryo sendirilah
yang membuka pintu. Dengan wajah kusut masai sehabis bangun tidur, dia
menyambutku dengan sumringah. Sangat sumringah. Aku memahami ekspresi Aryo.
Ekspresi itu adalah wujud keterkejutan sekaligus rasa bahagianya karena selama
empat tahun berpacaran ini kali pertama aku menginjakkan kakiku di kosnya. Itu,
buat Aryo, sangat luar biasa. Dan aku sebisa mungkin harus terlihat tak
bersalah atas hal itu.
“Hei..
tumben kamu kesini, hun. Hehehe.. maaf ya aku baru banget bangun tidur. Tadi
subuh sih udah bangun, kelar sholat aku lanjut tidur lagi. Gada kuliah soalnya.
Eh, lho kok kamu rapih banget hun? Kuliah? Bukannya kamu gada jadwal kuliah?
Seinget aku kamu gada jadwal kuliah kan...” Senyum Aryo menggambarkan
ketulusan. Manis sekali. Aku suka. Hanya itu, selebihnya biasa saja.
Tanpa
pikir panjang, aku serahkan surat merah jambu itu kepada Aryo. Dengan ekspresi
datar dan tidak sabar, aku menyerahkan surat itu dengan segera.
“Baca..”
Aryo
terheran-heran. Mungkin dalam benaknya dia bertanya-tanya ada angin apa sampai
aku menghadiahinya surat merah jambu dihari Sabtu. Aku melihat sekilas senyum
anehnya terpampang sejenak. Seperti senyum jual mahal yang mempercayai bahwa
didalam surat itu berisikan serangkaian tulisan tentang cinta, atau tentang
betapa aku menyayanginya sehingga tak mampu aku lisankan sampai harus aku
tuliskan. Senyum jual mahal yang akan membuatnya menyesal. Menyesal karena
sudah tersenyum.
“Ya
ampun hun, ini surat pertama dari kamu lho selama empat taun ini.. hehehe..
Emang harus surat ya? Kan bisa to the
point aja..” Masih saja senyum itu terukir dengan tulus.
“Harus
pake surat.. Baca aja..” Tak ada senyum dariku. Senyum tulus Aryo aku balas
dengan tatapan datar tanpa sedikitpun tampak berbinar.
Mulailah
dia merobek amplop surat itu dengan perlahan dan hati-hati. Dikeluarkannya
surat merah jambu dari amplopnya. Sedikit kusut, namun tidak lusuh. Ada tiga
lembar. Berukuran tidak terlalu besar. Mungkin hanya seukuran buku tulis kecil.
Sambil masih menyunggingkan senyum, Aryo membuka lembar pertama dengan raut
wajah sumringah.
*****
Lembar
pertama.
Dear
Aryo,
Surat
ini pertama kalinya aku buat untuk kamu. Tidak akan kepura-puraan didalamnya.
Tidak juga ada kata-kata romantis dan manis. Yah, kamu tau sendiri. Aku bukan
tipe cewek yang suka memanipulasi kata-kata supaya terdengar santun atau puitis.
Alakadarnya. Jelas. Sedikit kaku, tapi mudah dipahami. Sudah lama aku menunggu
untuk ini. Menunggu datangnya keberanian menulis semua perasaanku tentang hubungan
kita. Tentang perasaanku ke kamu. Bagaimana selama empat tahun ini aku mencoba
mencari jawaban atas perasaanku terhadap kamu. Semoga kamu membaca ini sebagai
suatu yang wajar. Inilah sebuah proses pembelajaran tentang makna suatu
hubungan antara wanita dan pria. Ternyata tidak semudah dan seindah yang
orang-orang bilang. Makanya aku berani menulis ini.. Yah, lembar pertama ini
prolognya saja. Lembar kedua, barulah pengakuan. Semoga kamu memaklumi bahwa
setiap kata yang tertulis bukanlah hal yang melankolis.
Perlahan
raut wajah Aryo menyiratkan keheranan, atau lebih tepatnya keingintahuan yang
spontan. Setelah membaca lembar pertama, Aryo seperti sedikit enggan dan ragu
membalikkan lembar tersebut menuju lembar kedua. Tampak mulai bisa menebak
lembar selanjutnya akan mengarah kemana. Sejenak Aryo melemparkan tatapan penuh
tanya kedalam mataku. Seperti ingin bertanya, “apa maksudnya ini?”. Lalu aku membalas tatapannya dengan tatapan
kaku, dingin, dan dengan raut wajah datar. Aku mengangkat bahu, berusaha
memberikan pengertian bahwa lebih baik teruskan membacanya. Aku tidak bisa
menjelaskan secara lisan. Merasa malas. Kemudian, Aryo kembali menatap surat
itu dengan sedikit kecewa. Terlintas
juga raut muka pucat dan tegang. Jemarinya seakan membeku saat harus membalik
lembar pertama. Terlihat takut-takut. Gundah pun melanda. Dengan sangat
dipaksakan, Aryo membalikkan juga lembar pertama. Pandangannya nanar ketika
membaca kalimat pertama pada lembar kedua.
*****
Lembar kedua.
Begini
caranya aku berterus terang kepada kamu bahwa aku tidak pernah menyayangimu,
sebagai pacar. (Sebagai teman, mungkin iya). Bisanya hanya lewat surat. Dan
yah, memang iya ternyata aku menyayangimu hanya sebagai teman. Aku tidak tahu
bagaimana caranya menaikkan level rasa sayang ini dari hanya sekedar sayang
kepada teman menjadi rasa sayang terhadap pacar. Riskan. Aku bahkan tidak tahu
kenapa aku mau pacaran denganmu. Hanya karena teman-teman senang melihatku
bersamamu, maka aku pikir tak ada salahnya membahagiakan orang banyak.
Juga tak mengapa membahagiakanmu. Toh hal
itu bukan dosa, Tuhan pasti paham. Tapi ternyata aku malah membodohi diri
sendiri, membodohi kamu, dan semua orang. Kalian percaya bahwa aku menyukai hal
itu, bahkan kalian percaya bahwa aku bahagia bersamamu. Yah, memang bahagia
sih. Cuma, kadarnya sedikit. Aku merasa seperti sedang didepan kamera, seolah-olah
sedang terlibat dalam sebuah film. Dan aku dituntut untuk menjadi apa yang
kalian mau.
Aryo,
semua hal yang baik tentang dirimu ada bersamaku. Semoga hal yang baik
tentangku juga ada bersamamu. Jika setelah membaca surat ini kamu marah, maka
lakukan! Atau kamu ingin menyumpahiku, lakukan! Jangan tunduk pada kesabaranmu,
berontaklah. Aku sudah bersiap-siap untuk semua itu. Aku hanya akan berterima
kasih atas waktumu yang telah terbuang percuma. Baiklah, begitu saja. Semoga
kamu mengerti. Sudah dulu yaa.
Kesedihan
Aryo tak terbendung, raut wajahnya sangat memelas. Pucat pasi, seperti orang
kehabisan napas yang terjebak didalam peti mati. Dengan terburu-buru, dia
membalikkan lembar kedua.
******
Lembar 3
Kita
akan saling diam dan tak bertegur sapa. Karena detik setelah ini, kita adalah
orang asing untuk masing-masing...
Sincerely
yours,
Juni
*****
Setelah
itu, yang mampu ku ingat adalah Aryo meremukkan surat itu dengan amarah serupa
Btara Durga. Melemparnya ke wajahku dengan penuh kesungguhan. Emosi terlihat
sangat jelas diwajahnya, tanpa kendali. Dan aku sengaja untuk tidak berpaling
kala surat merah jambu itu mendarat diwajahku. Lalu, setelah ku pikir bahwa
tindakan Aryo sudah sepadan dengan rasa sakit yang kutimbulkan, tanpa protes
dan tanpa permisi aku pergi meninggalkan Aryo. Bahwasanya langit tidak
mengijinkanku berlama-lama disitu karena mendung sudah gelisah diatas sana. Aku
juga tidak mau ambil resiko kalau-kalau hujan turun dan aku harus basah-basahan
pulang dari tempat Aryo. Maka itu aku tinggalkan Aryo dengan terburu-buru. Tak
aku hiraukan sumpah serapahnya terhadapku. Aku tidak akan membiarkan mendung
mengirimkan hujan untuk menjadi penengah. Jadi, sebelum hujan turun lebih baik
aku angkat kaki. Dibelakangku, terdengar dengan jelas Aryo menendang rak
sepatunya hingga terpental entah ke arah mana. Berteriak-teriak meneriakkan,
sepertinya, kata-kata kasar luar biasa. Saat itu aku sejenak tuli dan tidak
peduli lagi. Aku tidak berusaha untuk menoleh lagi kesana. Terlalu sibuk
berlomba dengan mendung.
“Aku
harus cepat-cepat sampai rumah supaya gak kehujanan...”
begitu batinku.
*****
Jam
bulat coklat tua menyadarkanku bahwa sudah pukul tiga sekarang. Ingatanku
tentang Aryo dan surat merah jambu berlembar tiga membuat kantukku tak juga
menerjang. Aku semakin gelisah. Harusnya tak usah merasa bersalah, tapi malah
gundah. Aku sudah tak kuasa dengan keresahan ini, logika dan nuraniku berkelahi
tak kenal waktu! Aku kan ingin tidur. Dan tiba-tiba saja, terlintaslah
dipikiranku untuk menenggak obat tidur. Ya! Obat tidur. Aku butuh satu butir
saja untuk mendamaikan sejenak logika dan nuraniku. Aku ingat menyimpannya
dilaci lemari.
Setelah
menenggak satu butir, tak perlu waktu lama akhirnya untuk terlelap. Memang obat
dewa! Bisa membuat orang yang terjaga karena gelisah menjadi mati suri untuk
beberapa jam. Diiringi suara kipas angin yang syahdu dan cahaya bulan yang
mengintip dari jendela dengan kemayu, maka jiwaku yang terlelap seolah terbawa
masuk kedalam dunia ruh-ruh malaikat yang tenang. Sangat tenang. Melayang.
Didalam sana, aku melihat kebun bunga mawar berwarna-warni. Diselingi bunga
tulip yang masih kuncup berseri. Segar berselimut embun dan tertimpa cahaya
matahari yang seolah tersenyum ramah. Diseberang sana sungai mengalir
diam-diam, tanpa suara, hanya memantulkan sinar surya yang berkilauan. Airnya
bening tak keruan. Tak setitikpun noda didalamnya. Hanya air. Lalu, tak luput
dari mataku, melati berhamburan disepanjang jalan setapak yang menuju sungai
itu. Menebarkan keharuman ganjil yang mencengkeram otak, seperti candu yang
ingin selalu kuhirup. Seperti, aku akan mati jika tak terus-terusan
menghirupnya. Sambil terus menghirup aromanya, aku memutuskan untuk berjalan diatas
hamparan melati tersebut dengan gemulai serta rasa rileks yang teramat sangat,
yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Sungguh ajaib! Dan aku memutuskan untuk
berjalan menuju sungai itu.
Diujung
jalan setapak, disisi sungai, aku lihat seseorang berdiri. Dikelilingi cahaya
yang indah, luar biasa indah. Cahaya yang tak pernah kulihat didunia nyata.
Cahaya gemerlap yang lebih gemerlap daripada cahaya kota Metropolitan dimalam
hari. Mungkin itu adalah cahaya seorang malaikat. Malaikat tanpa sayap. Maka,
tanpa ragu aku segera menuju sumber cahaya itu. Menuju seseorang yang ku
asumsikan sebagai malaikat. Malaikat yang perawakannya seperti laki-laki. Aku
yakin dia laki-laki. Terlihat rambutnya yang berpotongan pendek rapi,
menampilkan dua telinganya yang sempurna. Tinggi badannya yang pas dengan besar
tubuhnya, berdiri dengan gagah dan tegap.
Nyaman sekali memandangnya dari belakang. Pakaiannya yang berwarna putih,
menyiratkan jiwanya yang juga putih menurutku. Cahaya indah itu masih
mengelilinginya. Tinggal beberapa langkah lagi untuk menyapanya. Kemudian
ketika pada saatnya, aku berdiri tepat dibelakangnya. Tersenyum dengan tulus,
berharap dia akan menegur senyumku dengan senyumnya yang berbinar. Kemudian,
aku beranikan untuk menyapa.
“Haloo..”
suaraku sedikit bergetar karena menahan luapan rasa gugup dan kagum.
Malaikat
bercahaya itu kemudian menoleh. Dengan perlahan dan teramat
lembut, membawa serta cahayanya juga. Ah! Menerpa wajahku. Aku memicingkan
mata, menaungi mataku dengan sebelah tanganku, berusaha mengusir cahaya itu
dari mataku. Luar biasa! Cahaya itu. Butuh beberapa saat untuk mataku
menyesuaikan penglihatan akibat cahaya malaikat itu. Setelah berhasil, kini aku
bisa memandang malaikat itu dengan jelas karena cahayanya perlahan memudar.
Atau sengaja dipudarkan olehnya agar aku dapat memandang wajahnya dengan jelas.
Yang menurut bayanganku adalah tatanan wajah sempurna nan rupawan. Lalu setelah
aku bisa dengan jernih melihat wajahnya, napasku seketika tercekat. Suaraku
meniada. Teriakanku terdengar hanya bagai desau angin di pagi hari. Tubuhku
gemetar. Kakiku lemas dan tanganku menjadi kaku. Jantungku kesulitan berdetak.
Aku melihat Aryo dalam cahaya yang memudar itu! Mimik mukanya dingin, datar,
dan tak berbelas kasihan. Ketika aku masih berusaha mengusir semua keterkejutan
itu, dia menyodorkan sebuah kertas. Ah, lebih tepatnya surat. Surat berwarna
merah jambu kelabu berlembar tiga... Dan dia berkata,
“Baca...”
*****
“ARYOOOO...!!”
teriakanku memudarkan mimpiku. Bulir-bulir peluh membasahi wajahku.
Jam bulat berwarna
coklat tua menunjukkan pukul empat pagi hari.
Komentar
Posting Komentar