Lelaki Absurd




Kala itu senja pukul 6, Kuntari sedang bermesraan dengan dua sahabatnya disebuah coffeshop dipinggiran Kota Pelajar. Hilir mudik para manusia dijalan itu. Sambil berpelukan, bersenda gurau, bermotor, bersepeda, berjalan. Temaram lampu-lampu jalan dikanan kiri menambah syahdu suasana disekitar. Dilangit, bulan ternyata sudah mengintip dengan tidak sabar, segera ingin meniadakan matahari yg sudah membakar kota siang itu.

Didalam coffeshop, keramaian sudah tercipta. Mahasiswa, mahasiswi, karyawan, karyawati, fotografer, guru les, musisi amatir dan masih beragam lagi; mereka turut andil menciptakan keramaian dalam keserdehanaan coffeshop itu. Meja-meja dan kursi-kursi dari kayu yg berukir pola sederhana melengkapi ruangan berukuran sedang. Mungkin sudah ada sekitar 50 orang yg sedang menyandarkan sejenak kepenatan mereka di kursi-kursi tersebut menghadapi hidup hari itu.

Bersama Marstia dan Hanung, Kuntari memutuskan untuk berkeluh kesah tentang seorang lelaki (lagi). Kuntari merasa yakin, Marstia dan Hanung sudah barang tentu memaklumi dia dengan kisahnya bersama beragam lelaki yang dikatakannya merupakan proses untuk mencari komitmen luhur dalam hidupnya. Mereka tidak akan menggerutu, apalagi menghakimi. Mereka hanya akan sekedar mendengarkan, menyeruput kopi, dan menghisap rokok bersama-sama. Kemudian, menyudahi pertemuan itu dengan gelak tawa. Cukup sederhana, namun bahagia.

Tanpa menyiakan waktu, Kuntari mulai membuka kisahnya sementara Hanung mulai menyalakan sebatang rokok dan Marstia memesan 3 gelas dengan menu berbeda. Masing-masing cappucino untuk Marstia, kopi luwak untuk Hanung, dan choco caramel untuk Kuntari. Bersama-sama, Kuntari dan Marstia menyalakan sebatang rokok putih. Sesudah menghisap nikotin dalam-dalam dan menyembulkannya, Kuntari mulai berkisah...

"Dia 4 tahun lebih tua daripada aku. Aku kenal dia dari umur belasan. Tapi aku baru ngertiin dia baru 2 tahun lalu. Dan masih berusaha untuk ngertiin dia. Ngertiin keragu-raguannya terhadap komitmen, ngertiin keunikannya membahasakan cinta, juga ngertiin prinsipnya tentang saling percaya dan setia."

Senyum Marstia dan Hanung terukir tepat setelah kata-kata terakhir dr Kuntari.

"Lelaki baru lagi.." begitu batin mereka.

Kuntari kembali berkisah.
"Kita gak pernah punya hubungan yang bernama. Kayak misalnya pacaran, Hubungan Tanpa Status, Teman Tapi Mesra, Teman Tapi Mesum, atau apalah namanya.. Gak ada. Dan gak punya..!Asal kalian tahu, hubungan kita tuh berawal dari sekedar coba-coba. Berawal dari kesalahan aneh yang akhirnya malah bikin kita gelisah mikirin apa nama yg pas buat hubungan yang lagi kita jalanin ini. Gak ada yang pas yang bs gambarin tentang hubungan ini. Hubungan yang aneh, macam layangan yg bisa terbang tanpa angin.. Layangan yang gak berkomitmen dengan angin, tapi bisa mengudara. Ajaib bgt kan Nung, Mars??"

"Hmmm.."
Nada pemakluman keluar dg tulus dari mulut Hanung. Dengan dahi berkerut, menandakan bahwa dia sedang bersungguh-sungguh menyimak cerita Kuntari. Dia lalu meyeruput kopi luwaknya kemudian menghisap lagi rokoknya. Lalu kembali memasang mimik serius tanda bahwa dia sudah siap mendengarkan Kuntari berkisah lagi.

"Sebenarnya, bukan kita yang gelisah. Tapi aku. Cuma aku yang gelisah.  Aku gelisah saat aku sadar kalo hubungan kita ini cuma sekedar ‘running text’ yg cuma bisa dibaca tanpa adanya waktu yg cukup untuk saling memahami dan dipahami. Itulah kenapa aku jadi super gelisah .
Yah, coba deh kalian bayangin. Kita tuh gak pernah komunikasi secara intens. Kita jarang banget diskusi tentang hal-hal remeh apalagi berat. Kita cuma saling nunggu, siapa yang bakal nyapa duluan dipagi hari atau ngucapin 'sleep tight, baby..' malam harinya.
Tambah lagi, gak adanya waktu dan keinginan untuk mengkonstruksikan cinta lewat pertemuan-pertemuan rutin. Gak ada! Sial banget kan..
Kalo bgini kan kita jadi kayak pasangan ambigu karena saling nunggu!
Aku nunggu dia ngejutin aku dengan sebuah komitmen. Sebaliknya juga, dia nunggu aku mengamini kalo komitmen adalah suatu hal yang buang-buang waktu. Aku gak paham dia Nung! Lelaki macam apa dia? Lelaki sinting apa lelaki bego?!"

Ada hening sejenak merambat dalam pikiran mereka masing-masing. Diluar keheningan mereka, obrolan-obrolan dari para pengunjung coffeshop yg riuh rendah seolah menjadi musik latar bagi lamunan singkat mereka. Seperti alunan musik yg lembut, sembari ditingkahi aroma kopi dan coklat yang beradu dengan kepulan asap nikotin. Berlomba menggerayangi pikiran Kuntari, Hanung, dan Marstia untuk menentukan siapakah yg paling menggairahkan. Kopi, coklat, atau nikotin? 

"Nah, Sebenarnya sih aku udah mulai paham tentang  hubungan ini. Udah ngertilah arahnya. Aku udah punya kesimpulan dari hasil observasi selama dua tahun belakangan. Menganalisis prinsipnya tentang komitmen. Dan hasilnya, kalian tau apa, gak ada yg berubah tentang prinsipnya terhadap komitmen bahwa komitmen adalah kebodohan!! Itulah kenapa dia gak pernah nanya tentang apakah aku mau serius sama dia, atau pertanyaan tentang tanggal berapa aku lahir, atau siapa aktor hollywood idolaku. Dia itu, unpredictable! Absurd! Dateng tiba-tiba, lalu ngilang seenaknya. Tiba-tiba ngasih harapan, trus tanpa dosa nyolong lg harapan itu didepan mataku. Tapi entah kenapa, aku belum sanggup meneriakinya maling!! Trus juga, aku belum kesampaian ngutarain keberatan terhadap hubungan kita yang gak aneh ini . Aku pengen banget nampar dia pake wajan, maki-maki dia seenak-enaknya supaya dia tahu kalo aku care sama kejelasan hubungan ini. Tapi dia terlalu sibuk bermesraan sama robot-robot koleksinya.. Sibuk dg Gundam-Gundamnya.. Terlalu sibuk dengan dunia anak-anaknya .. Arrrghh!!”

Marstia menenggak sedikit demi sedikit cappucino-nya, mengganti posisi tubuhnya lebih nyaman, dan mulai menyalakan rokok kedua. Senyum simpul terukir diwajahnya, sebuah respon yg diperuntukkan bagi kisah Kuntari. Hampir bersamaan dengan Hanung yg menyusul setelahnya.
"Lucu juga prinsipnya, Kun.." Marstia nyengir kuda menatap emosi tertahan dimata Kuntari.

Kuntari menyemburkan asap rokoknya dg terburu-buru. "Ah, lucu apanya! Justru malah bikin aku bingung. Saat aku berusaha ninggalin dia dengan sepenuh hati, dia muncul gitu aja tanpa ba bi bu dan tanpa dosa nanyain kemana aja aku dan kenapa aku gak pernah nghubungin dia lagi. Trus, waktu aku udah mulai buka hati dalam rangka ngasih kesempatan lagi buat dia, dg asumsi bahwa dia udah punya komitmen unt ditawarin, dia malah ngancurin kesempatan itu. Coba! Bayangin! Udah gilak itu orang.... Padahal nih ya, aku sanggup ninggalin semua laki-laki didunia ini kalo dia mau berkomitmen. Tapii.. Kalian taulah, aku kan gak suka maksain kehendak. Bikin aja supaya emang gak akan pernah ada komitmen diantara kita. Simpel. Aku udh mulai cari cara supaya bisa ninggalin dia dengan anggun dan terhormat. Gak pake diam-diam, gak pake rasa bersalah dan gak pake cela. Gampanglah.. Aku pasti nemuin caranya... Aku kan ahlinya... Toh, aku gak butuh-butuh amat lelaki model begitu. Masih banyak yg lain."

Coklat caramel Kuntari hampir habis diteguknya. Menyisakan hanya seperempat saja digelas besar itu.

"Kalo dia takut berkomitmen Kun, pasti ada sebabnya kan.." Hanung menatap serius ke arah Kuntari.
"Yah, bisa jadi Nung. Pasti ada. Tapi aku gak ambil pusing lagi deh ngadepin lelaki pengecut macam itu. Kalopun dia pernah tersakiti, dan trauma sampe bikin dia bermusuhan sama komitmen, brati dia emang seratus persen pengecut. Jadi bukan salah aku kalo aku ninggalin dia, dan dia marah. Itu salahnya dia sendiri kenapa gak punya komitmen. Iya kan, bener kan?! Kalian setuju kan? Iya dong..”

Marstia dan Hanung saling berpandangan . Tersenyum kecil kemudian kembali menatap Kuntari. Marstia merespon Kuntari dengan diplomatis. "Yah, kalopun kita gak setuju, kamu tetap aja ninggalin dia kan Kun. Jadi pertanyaan kamu itu, jawabannya cuma kamu yg tau. Soalnya semua kan harus sesuai pandanganmu Kun, si wanita otoriter turuan Hitler!"

Tanpa komando, tiba-tiba saja Hanung dan Marstia berseru, "Heil Kuntari!!" sembari juga menirukan gerakan memberi hormat seolah-olah kepada Hitler yg notabene ditujukan untuk Kuntari. Serentak semuanya terbahak-bahak. Sambil berusaha menahan tawa, Kuntari menyahut "sialan kaliaaaan..!"

Gelak tawa pun menggema di coffeshop itu. Kuntari menyalakan lagi rokok yg kesekian. Berharap kecemasannya menguap seiring asap yg dilepaskan dari bibirnya. Meneguk perlahan coklat karamelnya dan mengubah bgitu saja arah perbincangan dari lelaki absurd-nya ke hal aneh seperti kealpaannya mencukur buluu kaki. Marstia dan Hanung hanya bisa menggeleng-geleng, bukan main absurdnya Kuntari. Melebihi lelaki yangg baru saja jadi bahan obrolannya.

Kuntari, Kuntari.. Dengan mudahnya dia menjadi wanita otoriter jika sudah menyangkut sebuah hubungan. Semua harus sesuai perintah dan kemauannya. Dia yg menentukan, yg lain harus mengikuti dan menerima. Bisa jadi dia punya turunan darah murni Hitler. Cuma bedanya, Hitler adalah master dalam membunuh manusia sedangkan Kuntari guru besar dalam hal membunuh sebuah hubungan.
 
Sepanjang malam yang syahdu itu, mereka tertawa bersama. Merokok bersama. Menenggak minuman bersama. Namun berkisah berbeda.. Menjejali setiap sudut kesedihan dengan humor ironi kadang sarkastik. Dan tak lupa mensubtitusi kegelisahan dengan gurauan gila. Disitulah Kuntari mensyukuri hidup lebih dari apapun didunia, demi Tuhannya . Bahwa dia masih memiliki stabiliser dalam hidupnya, Hanung dan Marstia .


Komentar

  1. tulisan yang bagus.. jadi tergambar gimana suasana mereka bertiga di cafe itu.. ringan.. namun berbobot.. sempat membuatku berpikir.. dan teringat akan kisahku sndiri sembari membayangkan hubungan antara si lelaki absurd ini dan si kun.. sembari tersenyum kecil dan menganggukkan kepala seolah2 ingin mengakui kemiripan antara si lelaki absurd dan diriku.. dan berpikir dibalik tawa kecilku "jangan2 cewek yg lg deket sm aq saat ini, dia juga bercerita yg sama tentang aq ketika dia lg berkumpul sm sahabatnya2"
    disela2 aq mengetik ini, aq berpikir, lalu apa pendapatmu ttg lelaki absurd ini, apa yg harus dia lakukan terhadap si kun? dan apa km juga sependapat dgn kun seperti di akhir tulisanmu ini? sambil menghela nafas, aq tekan tombol "publikasikan" thx.

    BalasHapus
  2. makasii pak danu buat komennya. gak nyangka baca tulisan ini juga..
    hahahahahaa
    kepikiran juga sih, apa laki-laki pd umumnya itu bermusuhan sm yg namanya komitmen ya? ato cuma prasaan aku aja?
    hohohohhh

    BalasHapus
  3. hehehe semua tulisan-tulisanmu aku baca kok... semoga kelak menjadi penulis yang sukses dan terkenal... ditunggu aja nih novelnya...
    laki-laki yang bermusuhan dgn komitmen itu 3 tipe, yg pertama karena dia pernah punya pengalaman pahit soal cinta hingga mengalami masa2 dimana tak percaya lagi dgn cinta dan komitmen, yg ada cuma sekedar "having fun". yg kedua, karena si lelaki belum siap secara mental dan materi tapi justru malas dan bersantai2. yg ketiga, campuran kedua tipe itu yg biasa disebut laki-laki pecundang. huft, semoga aku bukan tipe itu. hehehehe...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer