Segitiga Anomali

Lemparan sepatu ke cermin itu sungguh mendebarkan!
Bukan hanya jantungnya yang berhenti sejenak, melainkan juga jantung orang-orang yang sedang menguping dikanan kirinya.
Kasak kusuk terjalin diantara bisik-bisik angin sore Rabu itu.
Dan orang-orang yang menguping itu pada sibuk berspekulasi tentang gerangan yang terjadi.
Si Tetangga Kanan berspekulasi;
"Aahhh! Ketangkep selingkuh perempuan itu! Rasakan dia... Main-main sih."
Tetangga Kiri menyahuti si Tetangga Kanan;
"Bodohnyaaa... Tak pandai dia menyimpan bangkai?? Kurang belajar mungkin yaaa.."
"Ahahahahaha... Yuk ah, kita bubar saja. Biar mereka belajar bikin segitiga..."
Kemudian tanpa mengeluarkan sedikitpun komentar, Tetangga Depan dan Tetangga Belakang ikut saja tertawa. Entah menertawai si empunya peristiwa, atau menertawai diri sendiri karena juga pernah mengalami hal yang sama tapi malu ketahuan. Dan mereka pun menghilang tersapu rasa malu.

Diruang eksekusi itu, Dia terdedak dan tersedak rasa kecewanya sendiri.
Kecewa karena telah berkhianat dia kepada kekasihnya.
Lelaki Itu memerah matanya.
Mengepal tinjunya.
Mengerang  menahan luka sembari menatap lelaki lain yang juga turut menyaksikan meletusnya gunung emosi diruangan 3x3 itu.
Lelaki lain yang menjadi sumber perpecahan antara dia dan kekasihnya.

Dia mengiba, memohon kesempatan terhadap lelaki itu atas pengkhianatannya.
Pengkhianatan penuh alasan, begitu Dia berdalih dalam alibinya.
"Bukan!! Bukan maaf yang harusnya kamu mintaa... Tapi kepercayaanku! Namun sungguh, kamu tidak akan lagi menerima kepercayaanku Sayang... Karena kamu sudah membunuhnya! Dan sesuatu yang dibunuh sudah pasti mati dan yang mati tak mungkin hidup lagi. Maka sudahlah mati kepercayaanku, Sayangku...!"
Sembari masih menahan perih-perih pengkhianatan, lelaki itu terduduk menatap murung pecahan cermin semu yang berada disebelah kanannya.
Terpincang-pincang dalam memahami yang terjadi sore itu, Rabu.
Lelaki lainnya, dengan berapi-api kecil, santai, namun pasti mengungkapkan kekhilafannya kepada lelaki itu.
"Memang aku mencintai kekasihmu. Lantas mau apa? Dan mau gimana? Kami berdosa, dan kamu tak memaafkan. Maka sudahlah itu pasti, boy... Asal kamu tahu, rasa sakitmu sedalam rasa cintaku padanya. Namun pengorbananku bisa melebihi batas imajinasi siapapu, bahkan kamu! Maka berhentilah meratapi ini dan hadapilah realitas yang tersaji, hei lelaki... Tinggal kamu pilih, jalani lagi, atau mati didetik ini. Tentukan!"
Terduduk juga Lelaki Lain disebelah kiri Lelaki Itu, agak jauh, lebih cenderung didepan pintu ruangan itu.
Sembari mengisap sebatang rokok mild merah, menghembuskan penuh rasa sakit yang ditahan, lelaki lain itu menyimak raut wajah Dia penuh kasih.

Dia terduduk ditengah ruangan itu.
Sesengukan sesekali tersedak rasa bersalah atas dosa pengkhianatannya. Dan itu membuat dia menangis semakin gila...
Dipandangnya wajah kekasihnya itu, penuh harap dan menghamba.
Berulang kali diusap-usapnya air mata yang jatuh tak berkesudahan itu, namun tak jua dapat mencuri perhatian kekasihnya.
Dia gontai dalam hati.
Letih dalam jiwa.
"Aku mengiba maafmu, Sayang... Aku butuh kesempatan itu. Ini rasa teramat besar untuk diabaikan apalagi dibuang. Sudah hilangkah memorimu tentang kita?! Tentang rasa sayangmu kepadaku yang sering kamu umbar didepan umum? Ditembok-tembok tak bertuan? Dimeja-meja makan kedai kopi? Dikertas-kertas putih tak bernoda? Sudah hilangkah itu semuanya?! Katakan padaku, Sayang. Dengan lantang!! Sudahkah hilang???"

Senyap.

Hanya terdengar bunyi detak-detak detik yang berjalan dari jam dinding renta ditembok berwarna biru tua yang berada tepat dibelakang Lelaki Itu.
Matanya masih merah amarah.
Beberapa waktu hening berhasil dengan gemilang mengendalikan situasi.
Sementara asap putih masih juga tersebul dari mulut Lelaki Lain.
Dia pun masih menjatuhkan bulir-bulir asin dari kelenjar matanya, namun yang ini lebih sunyi.

Lelaki Itu tertunduk kepalanya  menatap jauh kedalam pecahan cermin yang terserak didekat kaki kanannya.
Sedangkan Dia menatap penuh penghayatan kedalam mata kekasihnya itu yang sedang menatap pecahan cermin.
Lalu, Lelaki Lain berpaling perlahan dari asap rokoknya menuju sepasang bola mata sendu yang sedang menatap pilu mata kekasihnya. Mata Dia..

Mereka semua masing-masing sednag sibuk berefleksi ditempat yang berbeda-beda.
Terpekur penuh kekhidmatan.
Dan hening masih mengendalikan.

Tik tok tik tok tik tok...

Tik tok tik tok..

Tik tok.

Tik.

Tok.

Lelaki Itu bangkit.
Merampungkan refleksinya.
Dia juga rampung.
Seketika itu juga Lelaki Lain turut rampung turut rampung.
Kemudian, kalimat-kalimat penyudahan sunyi keluar dari mulut Lelaki Itu.
Bangkitlah Lelaki Itu dari tempatnya merenung tadi. Dengan nada dan intonasi miris, dia berkata...
"Sayang, tidak juga aku menemukan alasan yang tepat untuk memberikanmu kesempatan lagi. Refleksi dicermin itu cuku jelas mengatakan bahwa segitiga ini teramat anomali. Terlalu tarik-menarik. Dan aku tak mampu menerimanya. Logikaku terlalu sempurna untuk memaklumi kelakuanmu dan kelakuannya. Terlalu riskan untuk mendalami alibimu..."
 Kemudian Lelaki Itu meoleh ke arah Lelaki Lain, dengan amarah yang terpaksa diredam, meluncurlah kalimat-kalimat sadis yang mebuat hati teriris.
"Menjauhlah kamu dari dunia ini. Konstruksi segitiga yang berusaha kamu bangun diantara garis-garis cintaku dan Dia tidak berguna! Seribu kali Dia tetap memilihku. Maka muntahkan semua harapan-harapan kosongmu dari khayalan indahmu. Karena kamu sudah tidak ada daya, walau bagaimanapun kamu coba berdaya... Menjauhlah kamu! Keluar dari duniaku dan Dia!!"
Kemudian tanpa menghiraukan Dia yang terpuruk didekatnya, Lelaki Itu berjalan ringan keluar ruangan menuju pintu gerbang kebebasan dengan dipenuhi luka.
Tak berhalang langkahnya karena Lelaki Lain sudah lebih dulu bangkit menyingkir dari pintu ruangan itu.
Dan Lelaki Itu perlahan juga pasti berjalan menuju kebebasannya.

Sementara Lelaki Itu berjalan menuju gerbang kebebasan, Dia masih terpuruk dan menyadari kekasihnya itu telah menjadi masa lalu, tepat saat Dia mengaku kepadanya tentang persengkongkolannya membangun kisah segitiga anomali dengan Lelaki Lain.
Dunia seakan terbalik.
Kalang kabut.
Sungguh carut-marut.
Dengan perasaan luluh lantak, Dia beranjak cepat berusaha menahan laju kekasihnya itu menuju gerbang kebebasan.
Ditariknya tangan kekasihnya itu.
"Tunggu Sayang! Apa kamu tidak menelaah? Ini juga akibat ulahmu?!"
Lelaki Itu menoleh sekilas, sambil tetap berjalan ringan kemudian menyahut.
"Ulahku yang mana, coba katakan!"

Tak sempat Dia membuka mulut, Lelaki Lain sudah lebih dulu menjawab pertanyaan Lelaki Itu.
"Ulahmu yang tak pernah tepat janji.. Ulahmu yang hanya besar omong.. Ulahmu yang hanya menjadi parasit... Ulahmu yang selalu mencoba menipu Dia.. Ulahmu yang selalu mencoba menutup-nutupi ulahmu!"
Disemburnya asap rokok dengan kalap tak tentu arah...
Mendendam yang kesumat sepertinya.
Lelaki Lain juga terperangkap emosi ternyata..

"Diam kamu! Aku tidak butuh kamu yang menjawab! Ini antara aku dan kekasihku. Bukan kamu, penyusup!"
Dia setengah berteriak menanggapi respon dari Lelaki Lain karena sudah lancang menjawab pertanyaan yang bukan untuknya. Lelaki Lain terkejut bukan kepalang.
Dihempasnya rokok putih itu dari bibirnya tiba-tiba, dan diinjak sejadinya sampai mati.
Seperti layaknya menginjak kecoak yang menjijikkan karena sudah berani menggerayangi tubuhnya.

"Apa kamu bilang?! Penyusup?! Justru kamu yang penyusup, Dia! Kamu yang menyusupkan aku kedalam cerita cintamu dengan kekasihmu.. Berani kamu menyalahkanku?! Dasar jalan edan! Biar rasa kamu tak ada yang memilih! Kekasihmu juga muak sama kamu... Rasakan itu!"
Lelaki Lain bergegas meninggalkan Dia dan ruangan itu serta kekacauan yang terjadi.
Ingin segera pergi dengan membawa luka menganga karena Dia.
Sementara, seperti ada solidaritas tak terlihat antar lelaki yang tertindas, Lelaki Itu sekonyong-konyong menepis genggaman tangan kekasihnya.
Lalu memberikan senyum pahit sekilas, Lelaki Itu kembali berjalan ringan menyusul Lelaki Lain yang sudah lebih dulu bergegas.
"Sayang... Sayaaangg! Tidak baik meninggalkan aku begini!! Aku dan kamu cinta mati!! Kamu mau kemanaaa?! Berhenti aku bilang.. Berhentiii!!"
Dia kelabakan...
Namun kakinya gentar untuk melangkah. Sementara kekasihnya dan Lelaki Lain sudah berdiri sejajar diambang gerbang kebebasan.
"Kalian mau kemanaa?! Kalian sudah gila yaa, meninggalkan aku?? Benar-benar kalian gilaaa!! Ternyata kalian berkomplot untuk menyakitiku begini nista... Kalian!!"
Dengan nada yang sangat datar dan santai, Lelaki Itu berkata.. "Kami mungkin akan lebih gila jika mempertahankan kamu sebagai pilihan.. Inilah. Terimalah. Segitiga yang sengaja kamu ciptakan membuat kisah ini menjadi anomali pada akhirnya... Dan maaf, kami bukan komplotan...."

Lelaki Itu melangkahkan kakinya keluar gerbang kebebasana. Tersenyum lega. Menghela napas panjang-panjang. Menciumi udara dengan mesra.. Lenyap sudah semuanya. Terkubur sudah kesalahan-kesalahan yang pernah dibuatnya tanpa sepengetahuan Dia. Toh dengan begini Dia tak perlu tahu kalau dirinya juga pernah menyakiti Dia sedemikian ini.
Lelaki Itu tertawa kecil dalam hati.

Sementara Lelaki Lain masih berdiri diambang gerbang.
Menatap dalam kepada Dia, untuk terakhir kalinya.
Menatap dalam kepada kesalahan terbesar dan terindahnya.
Benar-benar terakhir kali..
"Dia, kamu tahu bahwa segitiga tidak pernah menjadi sesuatu yang positif dimanapun dan kepada siapapun.. Dan aku menyesal telah rela menyayangimu dan menyakitimu diwaktu yang bersamaan.. Tapi ingatlah, bahwa ini adalah segitiga paling bersejarah dalam hidupmu. Segitiga paling anomali yang pernah ada dalam logikamu.. Maka nikmatilah sisa-sisa kenangannya, Dia... Aku pergi. Jaga diri..."

Lelaki Lain, akhirnya, melangkah melewati gerbang kebebasan. Tersenyum dia pada awan putih kebiru-biruan. Entah mengapa ada keganjilan disudut hatinya. Seperti lepas separuh jiwanya. Tapi secara bersamaan juga seperti terangkat beban berton-ton beratnya dari hatinya.
Tak apalah.
Toh, bukan kali ini saja dia berada didalam segitiga.
Walaupun harus diakui, inilah yang paling anomali...

Dan Dia yang telah ditinggal sendiri, air matanya kembali mengalun deras dipipinya. Tapi kali ini tak ada perasaan perih atau sesak.
Hanya perasaan hampa, ganjil, dan takut.
Ditatapnya gerbang kebebasan itu.
Apakah dia juga akan mampu melewatinya?
Pintu itu tebuka lebar!
Dia hanya perlu melangkah.
Ya!
Hanya perlu melangkah...

Sembari masih mengalunkan air mata, Dia berpikir juga.
Semudah itukah menuju kebebasan?

Baiklah...
Sudah diputuskan.

Dia melangkah beberapa kali, perlahan, menuju gerbang itu.
Kemudian berhenti tepat didepannya.
Menatap keluar gerbang dengan penuh arti dan keyakinan.
Dan Dia melangkah lagi, perlahan, untuk kemudian menutup gerbang itu dan menguncinya selamanya...
Lalu Dia berbalik kembali kedalam ruangan berukuran 3x3.
Berdiam diri sendirian...
Melupakan gerbang kebebasan.
Mati dalam pikiran dan kesedihannya, tanpa seorangpun teman sepenanggungan...

Kasihan...

Komentar

  1. Gue boleh kesindir nggak? Yg beginian pernah ngalamin nih gue.
    Ngeritik ah. Kakak yg punya rumah, jangan keseringan typo dong...
    Urusan asmara berkali² typo, masak nulis juga banyak typonya. Heuheuheu

    BalasHapus
  2. baiklah kaka Nandaaa.. akan saya perhatikan!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer