Perempuan Seandainya

"Hani, seandainya tetek kamu lebih berisi pasti kamu bakal lebih seksi. Bikin aku pengen diatas kamu teruuuss... Hahahahahahaha!"
Agus kembali mengulangi kata kata itu ditelinga Hani setiap habis berpeluh birahi, seperti biasa dengan nada mendesah. Mendengar itu, Hani hanya tersenyum simpul walaupun hatinya mendelik.
 "Tetek alakadarnya juga udah bisa bikin itu kamu keras!"
Sembari tetap memeluk Agus yang tampak lelah karena pergumulan penuh letupan namun sedikit cinta dengan Hani tadi, pikiran Hani menjarah waktunya dan mendesaknya untuk berkelana. Mata Hani terpejam, dan senyum simpul pun masih terpampang. Pikirannya bergerak menuju suatu persepsi yang menuntut untuk diselesaikan. Tentang bagaimanakah relasi antara lelaki, tetek montok, dan kadar cinta bisa dijabarkan dengan jumawa.
Seiring dengan eratnya pelukan Hani kepada Agus, maka gugatan pertama akhirnya mencuat didalam Sidang Persepsi pikiran Hani.
Dengan nada aneh seperti antara bimbang dan gelisah, Hani mengeluarkan gugatan pertamanya "Mengapakah lelaki suka mengandai-andaikan perempuannya?"
Lalu, sekonyong-konyong entah darimana asalnya suara yang sangat lantang berkoar sarkastik sekali.
"Karena lelaki ingin memonopoli perempuan! Supaya bisa menjamah-jamah badannya sendiri. Supaya mereka tidak rugi! Karena badan itu milik mereka sendiri! Supaya mereka bisa bercinta dengan tubuh montok sesuai keinginan dan imajinasi mereka, wahai Sang Pemilik Sidang! Dan juga karena lelaki lebih suka yang nyata, yang terlihat, yang teraba. Yang konkrit! Bukan abstrak."
Hani clingak clinguk, dahi berkerut, penasaran darimana suara itu bertuan.
Dari pikiran logisnyakah? Atau dari persepsi anomalinya?
Hani sangsi.
Kemudian, lagi dengan sekonyong-konyong muncullah  suara kedua yang juga entah darimana asalnya. Namun berbeda dengan suara pertama, yang kedua lebih halus namun menukik. Tajam!
"Wahai Sang Pemilik Sidang, pengandaian itu terjadi karena lelaki itu tidak mengikhlaskan kekuranganmu. Kekuranganmu masih sanggup menghalangi cintanya kepadamu padahal kekurangannya tidak pernah menutupi pandanganmu dalam mencintainya."
"Imajinasinya lebih berakar ketimbang kebesaran hatinya untuk menyempurnakan kekuranganmu. Maka dari itu, kau dijadikan perempuan seandainya meskil kau mampu mampu melihat kekurangan lelaki itu sebagai kesempurnaan dan bukan pengandaian."
Hani bergidik ngeri lalu tanpa sengaja mendesis seperti ular blingsatan. "Sssss!... mengerikan!! Biadab sekali!!"
Hani pun terbelalak.
Matanya membuka dengan raut muka cemas.
Perlahan dia mengalihkan pandangannya ke arah Agus yang masih tertidur karena kelelahan.
Dihelanya napas panjang untuk kemudian dihembuskan perlahan dan diam-diam. Hani memandangi Agus dengan cermat dari atas sampai bawah. Beberapa detik yang kemudian menjadi beberapa menit.
Dari atas ke bawah. Dari bawah ke atas.
"Astagaaaaaa...!"
Hani menjerit tertahan. Kaget.
Ternyata melimpah sekali kekurangan Agus.
Fisik dan jiwa.
Hani mendengus, namun kembali normal.
Kembali dipeluknya Agus dengan lembut dan senyaman mungkin. Kulit bertemu kulit. Nasib bertemu realita.
Terpejam lagi matanya.
Sidang Persepsi dibuka kembali.
"Mana lagi gugatanmu wahai Sang Pemilik Sidang?! Persepsi ini butuh penegasan dan penyelesaian! Keluarkan gugatanmu!"
Suara Pertama menyeruak tiba-tiba layaknya kilat menyambar di Jumat siang yang terik.
Hani terperanjat.
"Oh!"
"Baiklah, tenang.. Gugatan selanjutnya adalah, apakah kalau tetekku sudah berisi kemudian lelaki itu akan tambah sayang dan cinta kepadaku??"
Hani terdiam.
Semua terdiam.
Hening.
Hani clingak-clinguk.
Mana Suara-Suara itu??

"HAHAHAHAHAHAHAHA!!! Mustahil!"
Hani terperangah.
Suara Pertama berkoar.
Lalu Hani menyahut penuh penasaran.
"Mengapakah??"
"Karena lelaki itu hanya ingin tetekmu saja!  Nanti setelah tetekmu berisi, kemudian dia minta bokongmu berisi, badanmu langsing, kulitmu putih, gigimu rapi, dan kalau bisa dia minta rumah, minta mobil, minta nikah, yang berakhir minta cerai! Lalu menggelandang pergi mencari perempuan yang lain!"
"Astagaaaaa...!"
"Begitukah?"
Hani tertuduk lesu tak bergairah.
Jiwanya seperti tiba-tiba kopong.
Bengong.
"Wahai Sang Pemilik Sidang, dengarkan ini pendapatku. Jangan kau risaukan kekuranganmu. Jangan kau risaukan cintanya yang hanya sebatas andai. Begini, barangkali setelah tetekmu lebih berisi bisa jadi lelaki itu lebih sayang dan cinta bahkan mungkin tergila-gila. Namun bukan kepadamu melainkan kepada tetekmu!"
"Bah! Kamu sama saja dengan Suara Pertama...!"
"Memang begitulah, wahai Sang Pemilik Sidang. Karena ini sidang persepsi. Maka tugas kami menyatukan persepsi Pertama dan Kedua."
"Baiklah. Lanjutkan persepsimu.."
Suara Kedua melanjutkan penjabarannya.
"Kemudian, dia pun selalu ingin bertemu denganmu. Bukan karena dirimu, tapi karena ingin bertemu tetekmu. Bukan lantaran rindu dan ingin bercumbu dirimu, tapi semata dengan tetekmu! Maka carilah lagi lelaki yang lain, yang mencintai kekuranganmu dengan sempurna."
Hening.
Hani menghela napas. Emosi dan adrenalinnya mengejang.
"Cih! Lalu, bagaimana caranya aku mengukur kadar cintanya jika aku hanya perempuan seandainya diimajinasinya??"
"Bagaimana?!"
Gugatan terakhir tersebutlah.
Hani murka
Semakin gelisah.
"Tidak ada kadar cinta dalam lelaki itu jika dia sudah berani mengandaikanmu, wahai Sang Pemilik Sidang. Maka jika sudah dia mengandaikanmu, niscaya dirimu akan selalu berada dalam imajinasinya. Kadar cintanya berkarat, namun kadar birahinya berkilau."
Suara Kedua menyelesaikan persepsinya.
Kemudian Suara Pertama menimpali, "Maka kekuranganmu akan tetap meyilaukan dimatanya, sedangkan kesempurnaan adalah imajinasinya! Akhirnya waktumu sia-sia saat bersamanya karena dia selalu mengandaikanmu, tap tak pernah bisa menerimamu secara nyata! Bangunlah, wahai Sang Pemilik Sidang! Bangun! Sidang Persepsi harus ditutup!!"

"Hah!!"
Hani ngos-ngosan sperti habis maraton lantaran terperanjat oleh pikiran-pikirannya sendiri.
Keringatnya diwajah meluncur indah.
Melongo. Masih memeluk Agus yang tertidur telanjang.
Hani bangkit sekonyong-konyong.
Membangunkan Agus dari tidurnya.
"Mau kemana Hani, kok udah pake baju aja kamu? Sini doongg.. Aku belom puas berimajinasi Hanii.."
Hani bergegas memakai tank-top hitamnya dan jins belelnya, bersepatu keds merah, kemudian menyalakan sebatang rokok mild menthol.
"Aku mau berhenti dari imajinasimu. Aku lelah jadi perempuan seandainya, kamu tahu!"
"Hani, kenapa kamu marah-marah? Perempuan seandainya? Lho, aku kan cuma berandai-andai tetekmu lebih berisi. Itu cuma seandainya, sukur-sukur kalo beneran Han.. Hahahaha..."
Dengan wajah memelas Agus masih bisa bercanda
"Jangan pergi Haaann..."
Wajah Agus nyata memelas menandakan dia tak ingin Hani pergi.
Namun Hani sudah menyelesaikan persepsinya.
"Maaf Gus, aku pergi."
"Hani! Pliss, kamu mau kemanaaa.. Tolong jangan kekanakan Han, aku butuh kamuuu.."
"Kamu butuh tubuhku untuk diandaikan! Kamu gak bisa menerima kekurangan-kekuranganku!"
"Kamu tidak ingin aku pergi? Baik. Besarkan dulu penismu! Dasar parasit!"
Hani sudah diambang pintu.
Brakk!!
Dengan mantapnya Hani membanting pintu apartemennya sendiri.
Lalu pergi dengan asap rokok mengepul.
Pergi menuju realita.
Ringan sekali langkahnya serasa angin semilir dipipi.
Bersahaja dan menyenangkan.

Tinggallah Agus yang cuma bisa bengong.
Menatap sejenak pintu yang dibanting Hani tadi.
 Lalu kemudian beralih melongok memandang penisnya.
Terngiang perkataan Hani tadi.
Dengan perasaan sedih dan terpukul, kemudian Agus pun berandai-andai sepenuh hati...
"Seandainya penisku lebih menggairahkan dan seksi..."
Seandainya saja tidak seperti ini......

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Curahan hati tenan nek iki :D :D :D

    BalasHapus
  3. Firstly, big sorry, baru sempet tengok blogmu, karena kesibukan sbg hoswef insists more than my life but it's fun anyway...
    second, I love the way you write...n i love the way you take the topic/ideas...
    kalo aku nulis, aku nggak terlalu in dg gaya bhs kamu tapi kalo baca aku suka banget...can't wait ur next...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer