Dentum Ragu (Cerpen Sekali)

Tidak habis pikir dimana letak salahnya?
Sudah aku bertemu dia, dan bercinta.
Namun tak jua berikrar, melainkan keraguan terhampar.
Sudah aku merindukannya, dan bermanja. Tetapi mana keyakinan itu? Keyakinan yang mampu meyakinkan aku kalau dia bisa menjadi tujuan.
Lagi-lagi waktu. Bergantung terus aku pada waktu! Lagi -lagi aku ingin menunggu.
Menunggu logika ini termangu untuk kemudian mengumunkan bahwa semua keputusan ada ditanganku.
Ya!
Apalagi yang ingin ku gali?
Macam apa lagi lelaki yang ingin aku gumuli?
Sudah cukupkanlah! Berhentikan!
Bukan semata endorfin yang ingin aku kumpulkan.
Bukan juga desahan yang selalu aku nantikan.
Melainkan dekapan penuh cinta yang berhiaskan kesetiaan dan pengertian!
Romantisme bergelora yang kurindukan!
Seperti halnya aku merindukan dentum jantung yang bergejolak ketika senyum simpul teranyam, atau ketika tawa konyol terdengar seperti musikalisai puisi cinta.
Remeh temeh macam itulah yang menghanyutkanku.
Dan dia mampu menghadirkan itu semua.
Dia pun cekatan menjalin perasaan cinta, terampil menyulam "chemistry" anomali menjadi canda bahagia.
Juga pun sanggup dengan tulusnya mendekap, mencium, mencumbu, dan merinduku dengan sempurna...
Lalu, mengapakah aku masih saja sangsi?
Tetap saja ngeri menjalin sebuah relasi?
Tentu ini bukan sikap apatis atas apa yang terjadi didalam sini. Didalam hati.
Namun lebih kepada pertahanan diri dari kemungkinan luka yang bisa sangat menyayat diri.

Aku hanya takut patah hati.
Aku takut dia akan lari, tanpa tahu bahwa aku sudah akan memberikan cinta ini untuk sekarang dan nanti.
Aku takut patah hati karena mungkin dia akan lari.
Maka dari itu, aku masih sangsi...
Selamatkan aku!
Selamatkan aku!
Selamatkan aku...
dengan kerlingan cintamu dan keikhlasanmu...

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer